Potret Perjalanan Binmas Noken Satgas Nemangkawi 2018 – 2019 Dibukukan
Brigjen Pol Dr Eko Rudi Sudiarto, SIK, M.Si dan Kristin Samah menulis buku Jejak Cinta di Papua yang berisi perjalanan Binmas Noken Satgas Nemangkawi
Penulis: Febby Mahendra
Editor: Theresia Felisiani
HARUS BERTUMBUH
Cinta tetap harus bertumbuh meski tidak mudah. Diceritakan, salah satu penghambat cinta itu adalah masa lalu (sejarah) yang sangat sensitif untuk dibicarakan. Menyinggung soal sejarah sangat mungkin mengundang berbagai reaksi termasuk nada suara yang meninggi.
Oleh penulis dikatakan, jalan tak akan mantap, kepala tak akan tegak, kalau bayangan masa lalu masih menjadi beban. Sejarah di Papua sering hanya dimaknai proses integrasi Papua ke dalam NKRI. Padahal banyak peristiwa sejarah tidak dapat dilepaskan dari cinta yang pernah terjalin antara pemimpin Papua dan Indonesia di masa lalu.
Silo Karno (Sukarno) Doga, misalnya, adalah nama daerah dan sekaligus situs sejarah yang menjelaskan keeratan hubungan antara Soekarno, Presiden Republik Indonesia dan Silo Doga, Kepala Suku Besar yang mengepalai aliansi perang suku Dani di Lembah Baliem. Nama Soekarno diselipkan antara “Silo” dan “Doga” pada 1960 ketika Kepala Suku itu bertemu Presiden Soekarno dalam rangka Pepera.
Sebagai penghormatan, keturunan Doga mendirikan patung Silo Sukarno Dago di Jayawijaya, Wamena. Aturan diberlakukan, siapapun masuk ke kawasan ini harus menghormati bendera Merah Putih.
Itulah cara orang Lembah Baliem menghormati perjanjian para leluhurnya. Tidak hanya Doga, Kepala Suku Ukumiarek Asso dan Kurulu Mabel juga bertemu Presiden Soekarno untuk urusan yang sama.
Pada 2015 atau 80 tahun setelah pembuangan ke Boven Digul pada 1935, patung Bung Hatta didirikan dan di bawahnya tertulis ... “Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah di dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan tanah air, aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan di dadaku” (Bung Hatta).
Mandobo, Tanah Merah, Kabupaten Boven Digul adalah saksi bisu dari sebuah sejarah yang mengerikan dimana 1.308 pemimpin nasional termasuk Bung Hatta dan St. Sjahrir dibuang oleh penjajah Belanda. Ensiklopedia Nasional Indonesia (jilid 4) mencatat, Digul disiapkan secara tergesa oleh Pemerintah Hindia Belanda yang awalnya dibangun untuk menampung tawanan pemberontakan November 1926.
Baca juga: Mensos Sebut Perbaikan Data Penerima Bansos di DKI Baru 40 Persen, Kalah Dibanding Papua
Di Jayapura, terdapat Monumen Tugu Pepera yang mencatat keputusan Sidang Dewan Musjawarah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat, Kabupaten Djajapura. Prasasti itu memuat 4 (empat) keputusan Dewan Musjawarah Pepera Irian Barat yang ditandatangani di Djajapura, 2 Agustus 1969 oleh 110 Anggota Dewan Musjawarah Pepera Irian Barat. Monumen Pepera juga ada di Merauke, Kurulu Jayawijaya, Wamena dan Ukumiarek. Kemanakah cinta (yang dulu pernah ada) itu pergi ?
Buku ini terdiri dari 41 Bab yang terbagi atas empat episode, “Menapaki Jalan Cinta, Dari Gajah Turun Ke Hati, Pahit Manis Kopi Papua dan Menyusuri Jalan Cinta”. Mencintai masyakarat Pegunungan Tengah harus berangkat dari hati yang tulus.
Mereka bukanlah korban konflik secara langsung, namun cerita yang diturunkan turun temurun adalah kisah tentang kesulitan hidup dan tentang kepedihan. Anak-anak membutuhkan dongeng untuk berimajinasi, anak-anak perlu bermain untuk menyalurkan enerji, anak-anak perlu diperkenalkan dunia luas dan anak-anak perlu kegembiraan.
Sekalipun banyak tantangan dan misteri, cinta sejati Polri terhadap masyarakat Papua tidak pernah mati. Cinta yang seperti ini mengingatkan sebuah puisi yang ditulis Budi Miank, penyair dan sekaligus wartawan senior di Pontianak, .... “Senja yang membawaku padamu. Pada waktunya yang singkat, senja melukiskan cerita yang panjang. Tentang kita dan cinta yang kita titipkan pada waktu dan ruang. Cinta dimulai ketika ekor mata kita bertemu..”