Potret Perjalanan Binmas Noken Satgas Nemangkawi 2018 – 2019 Dibukukan
Brigjen Pol Dr Eko Rudi Sudiarto, SIK, M.Si dan Kristin Samah menulis buku Jejak Cinta di Papua yang berisi perjalanan Binmas Noken Satgas Nemangkawi
Penulis: Febby Mahendra
Editor: Theresia Felisiani
Kegiatan Binmas Noken merupakan soft approach (pendekatan lunak) Polri yang mengedepankan dialog, membantu peningkatan pendidikan, mewujudkan kesejahteraan serta peningkatkan pemahaman berbangsa dan bernegara.
Jangan heran jika kemudian Binmas Noken menyatakan cintanya dengan cara membantu mengurus ayam, babi, kambing, beternak lebah untuk diambil madunya, melatih anak-anak Tae Kwon Do, membuat shibori- sistem pewarnaan ala Jepang yang berkonsep kain ikat dan celup, trauma healing bagi anak-anak dan perempuan papua serta Polisi pi ajar dll.
SURGA KECIL
Noken identik dengan Papua. Tas tradisional ini merupakan kerajinan tangan yang memiliki nilai estetika dan seni tinggi. Ide pembuatan noken ini konon berasal dari para missionaris / zending di zaman Belanda meski untuk menjadi ahli harus melalui praktik berulang kali.
Anak-anak Papua pernah merasakan hidup dalam noken dan mereka akan bergantian dengan anak-anak wam (babi). Selain itu, mungkin pada hari lain noken berisi berbagai bahan pangan yang dibutuhkan.
Noken adalah simbol identitas budaya yang oleh UNESCO di Paris pada 2012, diangkat sebagai warisan dunia.
Baca juga: Pandemi, Startup Edutech MyEdu Bukukan Lonjakan Peserta Baru Empat Kali Lipat
Papua memang harus dicintai ! Menurut Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Papua adalah surga kecil yang jatuh ke bumi dengan seluruh keindahan budaya dan sumber kekayaan alamnya.
Papua harus dijaga dan dilindungi dari seluruh ancanam maupun gangguan kamtibmas yang tidak dapat dihindari. Alasannya, Papua adalah anugerah bagi bangsa Indonesia yang oleh karenanya perlu menggunakan pendekatan kemanusiaan untuk memecahkan berbagai permasalahan agar keadilan terwujud.
Bagaimana mencintai Papua ? Charles “Chato” Toto, Jungle Chef kelahiran Papua, menyatakan keprihatinannya setelah kembali dari melanglang buana karena masyarakat Papua tidak lagi mencintai sagu yakni bahan pangan asli Papua dan lebih memilih makan raskin (beras miskin).
Bagi Chato, sagu adalah ibu kehidupan karena dari pohon inilah kehidupan masyarakat Papua berasal. Selain untuk bahan pangan, dari pohon sagu dapat dibuat noken, tiang rumah dan pemelihara air. Hutan bagi Chato adalah supermarket di mana kebutuhan hidup masyarakat Papua dapat dengan mudah terpenuhi.
Sehingga tidak mengherankan, menurut Chato, persoalan di Papua seharusnya dapat diselesaikan melalui makan bersama. Ini mengingatkan peribahasa saat cinta bertemu, “asam di gunung dan garam di laut bertemu di belanga” dan jadilah papeda, makanan asli Papua.
Tanyakan pada Piter Tan jika ingin mengetahui bagaimana orang Papua mencintai. Pria ini mampu merebut hati orang Papua dengan kopi dan cintanya tak terlukiskan. Jatuh cinta terjadi ketika Piter Tan membuat masyarakat Papua yang sudah kenyang janji-janji itu, tergagap-gagap, speechless.
Sesuai dengan janji, pria kelahiran Papua itu akan membeli kopi masyarakat Wamena 5x (kali) lebih mahal dari harga pasaran yang Rp 9.000, hanya dengan catatan agar pohon-pohon kopi dirawat. Janji itu dibuktikan Piter Tan.
Buku ini juga mengisahkan Piter Tan hampir menangis karena didatangi seorang nenek yang berjalan kaki 15 km jauhnya sambil membawa berkilo-kilo kopi. Oleh karena itu, baginya, Papua adalah tanah penuh cinta.