Calon Hakim Agung Suharto Ditanya Soal Pidana Mati Terhadap Anak
Suharto ditanya panelis terkait pandangannya terhadap mekanisme peradilan anak di Indonesia hingga pandangannya terhadap pidana mati terhadap anak.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Hakim Agung Kamar Pidana yang saat ini menjabat sebagai Panitera Muda Pidana Khusus pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, Suharto, ditanya terkait pidana mati terhadap anak dalam proses Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung 2021 hari kedua.
Awalnya Suharto ditanya panelis terkait pandangannya terhadap mekanisme peradilan anak di Indonesia hingga pandangannya terhadap pidana mati terhadap anak.
Untuk itu ia menegaskan anak tidak dapat dijatuhi pidana mati.
Hal itu disampaikannya dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 Hari Ke-2 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Rabu (4/8/2021).
"Tidak. Untuk anak tidak dijatuhi pidana mati," tegas Suharto.
Baca juga: Jimly Asshiddiqie Tanya Putusan Bersejarah, Calon Hakim Agung Ini Bicara Vonis Bebas Eks Rektor IPDN
Ia juga mengatakan konsep peradilan anak sekarang ini semuanya berlaku restoratif justice dan ada mekanisme diversi.
Namun demikian dalam peradilan anak ada pembatasan-pembatasan tertentu sehingga ada terdakwa yang bisa ditahan atau diadili.
"Tetapi hakikatnya adalah restoratif justice. Itulah makanya ada semacam social report atau hadirnya Bapas untuk mengikuti kehadiran di persidangan anak dan mekanismenya juga sama dalam arti ada mekanisme persidangan yang tidak menggunakan atribut persidangan. Jadi arahnya ke sana," kata Suharto.
Namun demikian, ia menjelaskan dalam peradilan anak masih ditemukan sejumlah masalah.
Menurut Suharto persoalan tersebut muncul di beberapa pemidanaan tatkala anak dijatuhkan pidana.
Dalam konsep pemidanaan anak, lanjut dia, adalah separuh maksimal ancaman dewasa.
Namun demikian, kata dia, tatkala anak menghadapi persoalan pidana atau anak berhadapan dengan hukum, para hakim justru menjatuhkan pidana separuh minimal.
Baca juga: Ketika Calon Hakim Agung Artha Theresia Dicecar Soal Pelanggaran HAM Berat Oleh Hikmahanto Juwana
"Ini problem yang di yuridis dan problem di praktik. Jadi lagi-lagi, kami pernah ada beberapa pidana non pemenjaraan tetapi efektifitasnya juga belum," kata dia.
Selain itu, ia juga mengungkapkan berdasarkan penelitian, mekanisme diversi atau pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana, tingkat keberhasilannya juga belum memuaskan.
Hal itu karena untuk perkara-perkara besar apalagi yang menimbulkan korban nyawa, dukungan masyarakat terhadap penegakan hukum pada anak yang berhadapan dengan hukum menjadi problema.
Ia menjelaskan orientasi para pihak yang melakukan diversi agak susah atau khususnya bagi para korban.
Menemukan dua pihak yang bersengketa di mana yang satu menghendaki proses hukum yang ditegakkan kepada anak berhadapan dengan hukum yang notabene adalah terdakwa, namun di sisi lain adalah korban masih sulit.
Namun demikian, sepanjang persoalannya bukan nyawa, tidak menyangkut hal-hal yang susila, atau persoalannya yang tidak menyangkut hal-hal yang oleh masyarakat dimaklumi oleh diversi, hal tersebut sangat mungkin.
"Tetapi kalau sudah ada nyawa melayang, pelakunya anak, tetapi layak diadili, katakanlah 12 tahun ke atas, layak ditahan, itu mengembalikan ke keseimbangan hukum seperti semula untuk tercapai diversi itu dengan konsep restoratif justice itu agaknya sulit," kata dia.