Calon Hakim Agung Hermansyah Bicara Pedoman Pemidanaan dalam KUHP Baru
Awalnya Hermansyah ditanya panelis terkait karya tulis yang dibuatnya dengan topik disparitas putusan.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Hakim Agung yang juga dosen pada Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Hermansyah, mengemukakan pandangannya terkait solusi dari disparitas putusan.
Menurutnya solusi dari problem disparitas atau penjatuhan pidana yang tidak sama kepada terpidana dalam kasus yang sama atau kasus yang hampir sama tingkat kejahatannya, adalah dengan memasukan pedoman pemidanaan dalam KUHP baru yang saat ini tengah digodok pemerintah bersama DPR.
Awalnya Hermansyah ditanya panelis terkait karya tulis yang dibuatnya dengan topik disparitas putusan.
Ia pun ditanya terkait konsep apa yang ditawarkan sebagai solusi dalam problem disparitas tersebut ke depannya.
Baca juga: Calon Hakim Agung Ini Ungkap Bikin Puisi Guna Teduhkan Terdakwa Kasus Bom Bali II
Hermansyah menjelaskan solusi atau konsep menempatkan pedoman pemidanaan dalam KUHP tersebut sebenarnya sudah menjadi bahan diskusi yang cukup intens di kalangan ahli hukum pidana.
Selain itu, kata dia, konsep tersebut juga sudah terakomodir dalam KUHP konsep.
Pedoman pemidanaan tersebut, menurutnya perlu dibuat di KUHP agar dapat dipakai oleh para hakim untuk memperkecil ruang disparitas.
Sementara itu faktanya KUHP yang berlaku di Indonesia sampai saat ini, kata dia, tidak mencantumkan pedoman pemidanaan.
Menurutnya, hal tersebutlah yang menjadi salah satu dampak dari disparitas pemidanaan begitu melebar antara satu putusan dengan putusan yang lain yang bahkan dalam kasus yang sejenis.
Hal itu disampaikannya dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 Hari Ke-3 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Kamis (5/8/2021).
"Jadi pentingnya ke depan, ius constituendum (hukum yang dicita-citakan), saya berpikir sudah saatnya mendorong ini tadi menjadi sebuah pintu penyelesaian untuk memperkecil ruang disparitas, dengan membuat pedoman pemidanaan," kata dia.
Panelis kemudian meminta penjelasan lebih jauh lagi terkait pernyataannya yang menyebutkan bahwa disparitas putusan akan menimbulkan ketidakpercayaan publik pada lembaga peradilan, sehingga masyarakat dapat saja menggunakan cara lain untuk memperoleh keadilan tersebut.
Hermansyah kemudian menjawab pernyataan tersebut berangkat dari fenomena sosial yang ia cermati, bahwa berbagai macam bentuk penolakan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan-putusan yang memang memperlihatkan disparitas berpotensi disalurkan dalam bentuk yang lain.
"Artinya mereka bisa saja melakukan semacam eigen richting (main hakim sendiri) karena itu tadi. Dan ini yang dalam negara hukum harus kita hindari betul," kata Hermansyah.