Calon Hakim Agung yang Pernah Tangani Kasus Bom Bali Ditanya Tolak Ukur Dituduh Terpapar Radikalisme
Calon Hakim Agung, Eddy Parulian Siregar yang juga pernah menjadi hakim kasus Bom Bali I dan II ini mengaku tolak ukur seseorang dituduh terpapar radi
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Hakim Agung, Eddy Parulian Siregar yang juga pernah menjadi hakim kasus Bom Bali I dan II ini mengaku tolak ukur seseorang dituduh terpapar radikalisme, masih jadi perdebatan sampai sekarang.
Namun kata dia, salah satu tolak ukur yang bisa dilihat yakni dari sisi menggali pemikiran orang tersebut sampai ke akarnya. Meliputi bagaimana ucapan, komentar atau kata - kata yang terlontar dari mulutnya.
Pernyataan ini Eddy sampaikan saat ditanya oleh Anggota Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai dalam Wawancara Calon Hakim Agung 2021, yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial, Kamis (5/8/2021).
"Misalnya tidak sepaham sama pemerintah, mengkritik pemerintah itu tergolong radikal. Apa tolak ukur orang terpapar radikalisme? Kan mungkin saja suatu perkara itu dilaporkan, berproses, ke pengadilan. Kalau soal pengeboman jelas, dituduh sampai ke pengadilan," tanya Amzulian.
Baca juga: Saat Calon Hakim Agung Ditanya soal Kasus Sumbangan Rp 2 Triliun Akidi Tio
"Memang sampai saat ini masih jadi perdebatan. Penggunaan istilah ini juga dalam filsafat, berpikir sampai ke akar - akarnya. Tapi sebenarnya bisa kita ukur dari ucapan, kalau sudah mengkhawatirkan, sense of justice, kok sampai demikian," jawab Eddy.
Mantan Ketua Ombudsman RI ini kemudian kembali bertanya soal banyaknya orang dituduh terpapar radikalisme belakangan ini. Bahkan tuduhan itu bisa sampai di 'meja hijau'-kan.
Berkenaan dengan itu, ia bertanya tindakan apa yang diperlukan agar paham radikalisme tersebut tidak terus berkembang.
"Karena kan harus kita putuskan menghukum atau tidak. Kalau kasus bom Bali kan jelas, ada pelaku, ada korban. Kalau sekarang kan banyak orang dituduh radikal, sampai ke pengadilan. Dalam pengalaman bapak di majelis, hal apa yang harus dilakukan supaya paham radikal tidak terus berkembang?," tanya Amzulian.
Eddy mengatakan memperbanyak dialog menjadi salah satu kuncinya. Sebab kata dia, terkadang manusia tidak mampu terlalu cepat menerima kebenaran.
Sehingga dialog yang disampaikan oleh para pemilik rasa kenegaraan harus dilakukan secara konsisten.
"Jadi memperbanyak dialog. Memang kebenaran itu terkadang manusia tidak secepat yang bisa ia terima, memerlukan dialog. Memang harus ada orang - orang yang mempunyai rasa kenegaraan mengajak terus," ungkap dia.