Calon Hakim Agung Yohanes Dicecar Vonisnya yang Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa Atas Kasus Korupsi
Awalnya Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata menanyakan terkait konsep Undang-Undang (UU) tindak pidana korupsi.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Hakim Agung yang saat ini menjabat sebagai Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Pontianak, Yohanes Priyana, dicecar terkait vonisnya yang lebih ringan dari tuntutan jaksa terhadap terdakwa kasus korupsi.
Yohanes yang saat itu Ketua Majelis pada Pengadilan Tipikor Jakarta dicecar terkait vonisnya terhadap terdakwa dalam kasus suap terhadap pejabat Bakamla, Fahmi Darmawansyah.
Awalnya Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata menanyakan terkait konsep Undang-Undang (UU) tindak pidana korupsi.
Mukti bertanya perihal konsep UU Tipikor apakah untuk memprioritaskan pengembalian kerugian negara atau untuk memberikan hukuman seberat-beratnya terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Baca juga: Dituding Lakukan Pelecehan Seksual, Niko Al Hakim Akui Hilang Kendali, Mohon Dibukakan Pintu Maaf
Yohanes kemudian menjawab pada awalnya pembentukan UU korupsi dipandang sebagai extra ordinary crime karena di sana yang dilihat adalah kelakuan jahatnya.
Mukti kemudian menanyakan ketentuan tersebut ada di pasal mana.
Yohanes menjawab ada di pasal 2 pasal UU Tipikor.
Baca juga: Calon Hakim Agung Hery Supriyono Dicecar Atas Vonis Bebasnya Terdakwa Korupsi di RSUD Samarinda
Mukti mengklarifikasi maksud pertanyaannya terkait extra ordinary crime yang disebut Yohanes.
Yohanes kemudian mengatakan hal itu ada di ketentuan umumnya.
Ia pun diminta melanjutkan penjelasannya oleh Mukti.
Setelah mengulangi penjelasannya terhadap tujuan dimasukannya tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime adalah untuk mengubah kultur, Yohanes mengatakan namun dalam praktiknya semua hal yang berkaitan dengan anggaran negara dimasukan menjadi extra ordinary.
Baca juga: Calon Hakim Agung yang Pernah Tangani Kasus Bom Bali Ditanya Tolak Ukur Dituduh Terpapar Radikalisme
Padahal, lanjut dia, dalam praktiknya ternyata aset yang dikorupsi terlalu kecil atau ternyata memang tidak ada perbuatan koruptif tersebut karena bersifat administratif.
Setelah Yohanes mencoba mengungkapkan contohnya, Mukti memotong dengan memintanya untuk fokus pada pertanyaannya.
Yohanes mencoba menyanggah dengan mengatakan jawabannya perlu penjelasan kasus per kasus.
Namun sanggahan tersebut dipotong lagi oleh Mukti dengan menegaskan bahwa yang ditanyakannya adalah terkait konsep dan bukan kasus.
Baca juga: Calon Hakim Agung Achmad Setyo Cerita Perbedaan Jaminan Keamanan Hakim di AS dan Indonesia
Akhirnya Yohanes menegaskan bahwa konsepnya adalah untuk memberikan hukuman yang seberat-beratnya terhadap pelaku.
Namun Mukti menjelaskan bahwa yang menyatakan tentang extra ordinary crime itu ada di bagian menimbang di UU nomor 20 tahun 2001.
Mukti juga mengatakan konsep UU Tipikor sesungguhnya untuk menghukum perbuatan pelaku dengan huluman seberat-beratnya sekaligus mengembalikam kerugian negara.
Mukti kemudian mulai masuk ke kasus yang pernah ditangani Yohanes.
Hal itu disampaikannya dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 Hari Ke-3 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Kamis (5/8/2021).
"Tapi kalau saya melihat case. Bapak pernah menangani kasus pengusaha Fahmi Darmawansyah," kata Mukti.
Yohanes kemudian membenarkannya dan mengatakan bahwa saat itu ia bertindak sebagai ketua majelisnya.
"Di dalam kasus tersebut, Bapak memutus di bawah tuntutan jaksa dan dendanya juga lebih kecil daripada. Jadi kalau saya kembalikan konsep untuk menghukum seberat-beratnya dan mengembalikan kerugian negara, apa argumentasi Bapak pada saat memutus tersebut, kemudian lebih ringan daripada tuntutan jaksa?" tanya Mukti.
Yohanes pun mulai menjelaskan bahwa Fahmi sesungguhnya secara aktif tidak dalam proyek tersebut karena yang aktif mengerjakan secara fisiknya adalah keponakannya.
"Jadi si Fahmi ini kayak semacam sponsornya yang mengeluarkan cek macam-macam. Yang bersangkutan ini biasanya bekerja di bidang telekomunikasi tetapi tidak tahu kenapa dia terlibat dalam pengadaan alat monitoring yang dibuat oleh Bakamla," kata Yohanes.
Karena itu, lanjut Yohanes, Fahmi membeli suatu perusahaan yang bekerja di bidang tersebut.
Namun demikian, kata dia, yang mengerjakan perusahaan tersebut adalah keponakan Fahmi.
Di tengah-tengah penjelasan Yohanes, kemudian Mukti memotong kembali.
"Nggak begini Pak, mungkin lebih ringkas saja, delik formil atau delik materil apa yang menjadi pertimbangan Bapak memberi putusan lebih ringan dari tuntutan jaksa?" tanya Mukti.
Yohanes kemudian menjawab bahwa dalam persidangan terungkap bahwa perbuatan Fahmi terbukti.
Namun demikian proyek tersebut tidak akan bisa diselesaikan, karena proyek tersebut merupakan bangunan yang harus diinstalasi dan ada uji coba untuk bisa diterapkan.
Di dalam proyek itu, lanjut dia, juga tidak disediakan tanah untuk membangun.
"Hanya waktu itu karena dia terkena perkara korupsi, dia mengorbankan tanahnya untuk membangun stasiun tersebut," kata Yohanes.
"Artinya delik formilnya terbukti?" tanya Mukti
"Terbukti," jawab Yohanes.
"Delik materilnya, akibatnya tidak terlalu banyak kerugian negara, begitu mungkin? Ringkasnya begitu, Pak?" tanya Mukti.
"Ya," jawab Yohanes.
"Benar yang saya katakan ini?" tanya Mukti lagi.
"Ya. Karena yang bersangkutan mengorbankan tanhnya sampai saya tanya ini statusnya tanah bagaimana kalau tidak? Akhirnya diserahkan kepada negara," kata Yohanes.
"Baik, Pak terima kasih," kata Mukti mengakhiri pertanyaan terkait kasus Fahmi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.