Marak Baliho Politikus, Persaingan Menuju Pilpres 2024?
Mulai dari Ketua DPR RI Puan Maharani, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Malvyandie Haryadi
Pemasangan baliho tidaklah dilarang, hanya saja Ujang mengatakan timing pemasangannya tidak tepat di tengah pandemi Covid-19.
Menurutnya, pemasangan baliho tersebut berpotensi mendapatkan nyinyiran publik atau olok-olok rakyat karena dianggap tak sensitif atas penderitaan rakyat.
"Seharusnya sosialisasi baliho tersebut di rem dulu, di stop dulu. Rakyat sedang sulit, banyak yang nggak bisa makan dan rakyat juga tak butuh baliho. Artinya dana-dana untuk pasang baliho lebih baik digunakan dulu untuk membantu masyarakat yang terdampak Covid-19," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengingatkan bahwa pemasangan baliho jika tak disertai dengan komunikasi politik yang benar justru akan kontraproduktif.
"Publik bukannya akan suka namun sebaliknya jadi sebal. Buktinya, baliho itu jadi cibiran bukan sanjungan. Karenanya, komunikasi dan kerja politik jadi penting untuk menerjemahkan baliho-baliho itu," kata Adi, ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (5/8).
Salah satu caranya, kata Adi, elit yang memasang baliho mesti berani juga menginstruksikan agar partainya menjadi sandaran bagi masyarakat yang terdampak pandemi.
Sebab, apabila tak dibarengi kerja politik terukur, baliho yang diniatkan mengerek elektabilitas hanya akan gagal, karena tak bisa merebut hati masyarakat.
"Baliho pastinya diniatkan untuk pencapresan, sebab baliho itu fenomena politik, bagian strategi pemasaran. Tujuannya tak mungkin normatif dan tak mungkin untuk hal ilmiah. Tujuannya pasti ingin dikenal orang," jelas Adi. (vjc)