Lewat Novel 'Menunda Kekalahan', Todung Mulya Lubis Angkat Kisah Hukuman Mati Napi ke Khalayak Umum
Ingin bagikan kisah dunia hukum ke khalayak, Todung Mulya Lubis membuat sebuah karya novel yang berjudul 'Menunda Kekalahan'.
Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNNEWS.COM - Bekerja sama dengan penerbit Gramedia Pustaka Utama, Todung Mulya Lubis membuat sebuah novel yang berjudul Menunda Kekalahan.
Dalam karya fiksinya ini, Todung menceritakan tentang seorang pengacara saat menangani kasus narapidana yang dihukum mati.
Pengacara tersebut bernama Topan, yang sebelumnya hanya menangani kasus-kasus komersial.
Tetapi, pada kesempatannya kali ini, ia akhirnya mengambil keputusan untuk menangani narapidana kasus narkotika.
Dijelaskan Todung, Topan sebelumnya merasa bimbang dan galau apakah akan menangani kasus ini atau tidak.
Menurut Topan, kasus itu adalah kasus yang perlu ia hindari.
Baca juga: Penulis Ayu Utami Hadirkan Sayembara Menulis Hadiah Sastra untuk Pemula Sebesar Rp10 Juta
Baca juga: BIN Gelar Vaksinasi Lanjutan Secara Door To Door di Bogor
"Topan itu lebih sebagai lawyer dia nangani kasus komersial dan pidana, yang dia galau, gundah, bimbang apakah akan menangani kasus semacam ini. Dia awalnya tak mau menangani kasus narkoba, menurut dia itu adalah kasus yang perlu dihindari, biarlah orang lain yang menangani," kata Todung menjelaskan sosok Topan dalam peluncuran buku secara daring, Rabu (11/8/2021).
Topan akhirnya mau dan berupaya membela hak untuk hidup dua narapidana asing kasus narkotika yang diancam hukuman mati, Misa dan Allan.
Sebelumnya, dua pemuda tersebut ditangkap karena membawa heroin dalam perjalanan pulang meninggalkan Bali menuju Australia.
Bersama tujuh pemuda lainnya mereka diadili di Denpasar.
Kedua pemuda itu lantas dijatuhi pidana mati oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan kemudian dikukuhkan oleh Mahkamah Agung.
Pemerintah Australia akhirnya meminta Topan untuk menangani perkara itu.
Mengingat, Topan dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia yang pernah menolak hukuman mati.
Pada dasarnya, menurut Topan narkoba merupakan barang haram sehingga menjadi musuh nomor satu di Indonesia.
Baca juga: Eggy Fajar Andalas: Karya Sastra Dipengaruhi Dari Hasil Akumulasi Pengetahuan Penulis
Tetapi dia juga sadar, bahwa hak untuk hidup bersifat absolut, tak bisa dilanggar.
Topan akhirnya membantu kliennya tersebut, tentunya ia juga menjaga objektivitas itu.
Kliennya tetap harus dihukum, mengingat kliennya bersalah.
Diceritakan Todung, pada saat menangani kasus pertamanya ini, Topan sempat bertemu menteri luar negeri kliennya di Australia.
Menlu tersebut lantas berkata kepada Topan dan mempersilakan Topan menangani kasus warga negaranya ini.
Menlu hanya memberi catatan, dua warga negaranya tersebut silakan diberi hukuman seberat-beratnya, asalkan tidak hukuman mati.
Dalam buku ini, penulis juga menceritakan perjalanan tokoh Misa dan Allan selama penjara di Bali.
Bagaimana kemerdekaan mereka dirampas dan secara fisik mereka harus ada di dalam penjara yang tidak manusiawi.
Untuk diketahui, kata Todung, penjara di Indonesia sesak, kapasitasnya 1.000 orang, tapi diisi 2.000 orang.
Baca juga: Tahanan Narkoba Tewas, padahal saat Masuk Sel Dalam Keadaan Sehat, Diduga Dianiaya
Menurut Todung, jika harus merombak fasilitas penjara, pemerintah akan kesulitan.
Sehingga alangkah baiknya jika sistem yang dibenahi.
Seperti contohnya, tidak semua pidana kasus narkoba dipenjara.
Mereka dapat ditempatkan ke tempat rehabilitasi.
Mengingat, jika semua kasus narkoba berakhir di penjara, maka yang terjadi penjara akan over kapasitas.
"Kita tahu di Indonesia kapasitasnya sesak, kapasitas 1.000 diisi 2.000. Jadi hal hal ini dialami oleh semua. Ini tidak mudah memang, pemerintah harus menyediakan uang yang banyak."
"Apakah memungkinkan jika semua orang dimasukkan ke dalam penjara? Apakah para pemakai narkoba itu dimasukkan semua ke dalam penjar? Ini harusnya dievaluasi kembali."
"Nah kalau semua (pemakai narkoba) dipenjara, penjara tidak mampu menampung mereka," jelas Todung.
Untuk itu, novel ini tak hanya sebagai karya sastra, namun juga dapat menjadi pembelajaran bagi semua pembacanya.
Kegelisahan dan kritisnya pikiran Todung juga dituangkan ke dalam cerita ini.
Bagi Todung, proses hukum di Indonesia membutuhkan banyak sekali pembaharuan.
Todung menjelaskan, dirinya sangat terganggu pada proses hukum terkait dunia suap.
Baca juga: Alasan Cut Meyriska Tetap Terima Roger Danuarta Meski Dulu Tersandung Narkoba
Menurutnya ini sulit, karena prinsipnya, sangat tidak boleh menjadikan pengadilan seperti pasar.
Yakni barang siapa yang melakukan penawaran tertinggi, dia pemenangnya, ini bahaya.
Ini akan membuat proses peradilan tidak independen.
"Proses hukum di Indonesia membutuhkan banyak sekali pembaharuan apalagi sekarang jaman digital. Saya sangat terganggu misalnya untuk proses-proses hukum yang masih ada bau-bau suap."
"Nah buat saya ini sulit, kita kan tidak boleh menjadikan pengadilan seperti pasar, yakni siapa yang melakukan penawaran tertinggi, (yang menang) ini bahaya. Itu akan mempbuat proses peradilan itu sendiri tidak independen," terang Todung.
Supaya keadilan itu dapat terpenuhi dengan penilaian yang objektif.
Lepas dari itu, Todung mengaku dirinya akhirnya dapat menyelesaikan novel ini selama kurun waktu 6 bulan.
Pemilihan judul Menunda Kekalahan ia pilih karena terinspirasi karya Chairul Anwar, yakni "Hidup hanya menunda kekalahan".
Melalui karya novel ini, Todung ingin membuka jendela kepada masyarakat umum tentang dunia hukum di Indonesia.
Sementara soal cerita yang ia sajikan ini, diambil dari sebuah pengalaman asli yang kemudian Todung kemas dalam wujud fiksi.
Meski begitu, Todung mengatakan, tidak semua pengalaman dapat ia beberkan.
Todung mengatakan, ada hal-hal yang dihilangkan dalam novel tersebut.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani)