Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pemberian Penghargaan terhadap Eurico Guterres Dinilai Sudah Tepat, Guru Besar UI Ungkap Alasannya

Hikmahanto Juwana menilai penghargaan pemerintah terhadap Eurico Guterres sudah tepat meski ada pendapat yang kontra di masyarakat.

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Pemberian Penghargaan terhadap Eurico Guterres Dinilai Sudah Tepat, Guru Besar UI Ungkap Alasannya
Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan Bintang Jasa kepada mantan pejuang Timor-timur, Eurico Guterres dalam acara penganugerahan Tanda Jasa dan Kehormatan di Istana Negara, Jakarta, Kamis, (12/8/2021). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjelang HUT Kemerdekaan RI, pada Kamis (12/8/2021) Pemerintah menganugerahkan para warganya berbagai penghargaan berupa Bintang Jasa. Eurico Guterres termasuk yang memperoleh Bintang Jasa Utama.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai penghargaan pemerintah sudah tepat meski ada pendapat yang kontra di masyarakat dengan alasan Eurico Gutteres melakukan pelanggaran HAM Berat pasca jajak pendapat di Timor Timur.

"Penghargaan pemerintah sudah tepat," ujar Hikmahanto kepada Tribunnews.com, Minggu (15/8/2021).

Ada empat alasan mengapa pemerintah tepat dalam memberi penghargaan kepada Eurico Guterres.

Pertama, Eurico Guterres pada tahun 2008 telah dibebaskan oleh Mahkamah Agung berdasarkan peninjauan kembali atas tuduhan melakukan pelanggaran HAM Berat di Timor Timur.

Kedua, perlu dipahami konsep pelanggaran HAM berat dalam situasi konflik bersenjata.

Berita Rekomendasi

Dia menjelaskan ada empat pelanggaran HAM Berat sebagai Kejahatan Internasional yaitu pelanggaran terhadap kemanusian, genosida, kejahatan perang dan perang agresi.

Di Indonesia berdasarkan UU Pengadilan HAM hanya ada dua pelanggaran HAM Berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.

"Berdasarkan hal tersebut pelanggaran HAM Berat bukanlah situasi yang menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang sangat berat. Pelanggaran HAM Berat (gross violations of human rights) merupakan terminologi khusus suatu kejahatan internasional, disamping bajak laut," jelasnya.

Baca juga: Jokowi Anugerahkan Bintang Jasa pada Mantan Pejuang Tim-tim Eurico Guterres 

Ketiga, pelanggaran Berat HAM dalam situasi konflik bersenjata akan dikaitkan dengan pihak yang kalah dan pihak yang menang dalam konflik tersebut.

Dia menjelaskan para petinggi militer Jepang dan Jerman dikenakan vonis pelanggaran HAM Berat karena mereka kalah dalam Perang Dunia II.

Padahal pengambil keputusan dan tentara AS, utamanya dengan penjatuhan Bom Atom di Nagasaki dan Hiroshima, berpotensi didakwa melakukan pelanggaran HAM Berat.

Namun karena AS dan sekutunya menang dalam Perang Dunia II maka pengambil kebijakan dan prajurit terbebas dari dakwaan dan vonis Pelanggaran HAM Berat.

Seandainya pasca jajak pendapat Timor Timur Pro Otonomi keluar sebagai pemenang bukan Pro Kemerdekaan, maka Eurico Gutteres sudah sejak lama mendapatkan Bintang Jasa Utama.

Para petinggi militer dan sipil yang ketika itu bertugas di Timor Timur pun tidak akan mendapatkan tunduhan pelanggaran HAM Berat. Justru mereka akan dianugerahi pangkat satu tingkat lebih tinggi.

Terakhir, mengapa Eurico Gutteres pantas memperoleh Bintang Jasa Utama karena dalam perspektif Indonesia segala daya upaya dan usaha yang dilakukan oleh Eurico Gutteres adalah untuk mempertahankan Timor Timur sebagai bagian dari NKRI.

Ketua DPW PAN NTT, Eurico Guteres
Ketua DPW PAN NTT, Eurico Guteres (Ist)

Tentu ini akan menjadi hal sebaliknya bagi tokoh Timor Timur seperti Xanana Gusmao yang pernah divonis sebagai pemberontak di Indonesia namun diganjar dengan penghargaan sebagai pahlawan kemerdekaan oleh Negara Timor Leste.

Kritik bisa datang bagi kedua tokoh ini baik di dalam maupun luar negeri, namun penghargaan suatu negara kepada warga negaranya yang telah memberikan pengorbanan tidak boleh dinafikan atau ditiadakan semata-mata karena negara tersebut kalah dalam perang atau konflik bersenjata.

"Di Jepang meski para petinggi militer pasca Perang Dunia II divonis dan dihukum mati, para pejabat Jepang tetap memberi penghormatan dengan mengunjungi makam mereka di Yasukuni Shrine ditengah kritik dari masyarakat Jepang maupun negara-negara yang mengalami penindasan oleh Jepang," ucapnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas