Yenny Wahid: Aset Paling Berharga dari Garuda Adalah Manusianya, Bukan Pesawat
Yenny Wahid menegaskan pengurangan karyawan Garuda Indonesia tentu berpengaruh kepada kondisi keuangan dan beban yang ditanggung Garuda.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Sanusi
Komisaris yang mundur kan bukan cuma saya, direksi juga dikurangi. Saya tidak punya keleluasan untuk mendisclose standar salary orang lain, jadi bukan privillege saya untuk mengungkap itu. Tapi bisa dilihat dari laporan keuangan Garuda nantinya ketika sudah disclose ke publik tiap RUPS, kan disitu ada cost untuk human resources berapa dan bisa dilihat disitu semua.
*Tapi apakah Anda nggak diizinkan untuk menyampaikan berapa honornya selama menjadi komisaris?*
Standar menurut saya, kalau buat saya pribadi ya. Mungkin kalau untuk rata-rata orang Indonesia cukup tinggi. Jadi buat saya sih sebetulnya tergantung ya, tergantung perusahaannya sih. Saya memang duduk di beberapa perusahaan sebelum Garuda juga, jadi ya cukup mengerti standarnya berapa. Standarnya juga beda-beda, Komisaris Utama, independen, direksi, direktur beda semua.
Yang paling penting itu bahwa semua akan punya kontribusi walaupun kecil untuk pengurangan biaya, karena dalam cost structure kita untuk biaya pegawai itu sekitar 20 juta dolar AS per bulan. Cost terbesar tetap dari leasing, makanya ini yang harus dikejar. Leasing itu kita pernah sampai 75 juta dolar AS per bulan. Nah sekarang sebetulnya ketika kita melakukan renegosiasi terus menerus, kita sudah bikin blueprint seperti apa, restrukturisasi harus seperti apa, revitalisasinya di bidang apa saja. Kalau plan itu dijalankan maka sebenarnya Garuda kansnya cukup besar untuk tetap mengudara. Harus kita bantu, kita pertahankan untuk tetap mengudara.
Waktu saya masih disana, kita berhasil menghemat untuk leasing costnya aja itu sekitar 200 miliaran sebulan, lebih dari itu malah. Itu hanya untuk biaya sewa. Cost untuk pegawai juga turun banyak waktu itu, beberapa juta dolar juga. Memang ada tunjangan-tunjangan yang seharusnya tidak bisa dialihkan dahulu itu sebetulnya bisa tidak dilakukan sekarang, menunggu sampai Garuda bisa lebih sehat lagi, ini sedang kita push.
Salah satu hal yang kemarin saya minta fokus itu saya minta ada migrasi sistem IT kita. Karena sistem IT Garuda menurut saya masih terlalu mahal, dan ini hubungannya sama passenger service system kita. Jadi kita memakai sistem IT yang namanya Global Distribution System (GDS) itu agak mahal sewanya. Padahal banyak airlines lain yang sudah mulai beralih sistemnya menuju sistem baru yang lebih efisien dan lebih memberikan proteksi data pelanggan dan data pelanggan menjadi milik data airlines, itu namanya New Distribution Capability (NDC). Itu saya lakukan push memang, kalau bisa diubah, migrasinya berhasil. Itu penghematannya bisa satu triliun setahun. Lumayan banget kan satu triliun setahun. Beli bakso ya tiga lapangan penuh.
*Apakah kerugian Rp1 triliun per bulan sudah berlangsung saat Anda menjadi komisaris?*
Ini kan karena pandemi Covid-19. Awalnya tidak seperti ini. Jadi perusahaan tidak ada pemasukan. Belum biaya sewa, biaya maintenance itu juga tinggi sekitar Rp15 juta per bulan. Kalau terbang pilot cost juga tinggi, kemudian biaya avtur. Ini penuh atau tidak avtur kan harus tetap full. Bayangkan segala macam biaya fixed cost kita tetap harus tetap operasional dengan segala macam keterbatasan.
*Ada beberapa opsi pemerintah menyuntikan ekuitas ke Garuda, seperti upaya hukum kepailitan, restrukturisasi utang, membuat national flag carrier baru, dan likuidasi membiarkan sektor swasta masuk? Mana yang reasonable menurut Anda?*
Airlines di masa pandemi hanya punya dua opsi, dibiarkan mati atau dibantu pemerintah. Hanya itu aja. Tahun 2021 saja sudah 10 airlines seluruh dunia tutup karena pandemi.
Kalau mau dibantu ya harus disuntik dana. Yang menarik Singapore Airlines dibantu 11 miliar dolar AS oleh pemerintahnya. Qatar Airways lebih dari lebih dari 2 miliar dolar AS. Emirates 2-3 miliar dolar AS. Jadi ini angkanya cukup tinggi.
Sementara Garuda pernah diketuk di DPR juga kita pernah mengajukan bantuan dalam bentuk MCB (mandatory convertible bond) atau obligasi wajib konversi sebesar 500 juta dolar. Memang sangat jauh sekali dibandingkan Singapore Airlines. Garuda diketuknya Rp8,5 trliun turunnya Rp1 triliun. Ya sudah habis dalam sebulan. Penyuntikan domainnya pemerintah.
Saya sekarang sebagai warga biasa tentu penyuntikan harus dibarengi komitmen dari manajemen untuk melakukan apa yang terbaik untuk perusahaan. Nah itu komitmen harus jalan.
Langkah-langkah ini harus dilakukan semua. kita restrukturisasi negosiasi dengan lessor kemudian kita sendiri juga harus menelan pil pahit. Karena meminta penghapusan utang kita harus mengubah gaya hidup.
Yang saya lakukan bagian dari simbolisasi kepada lessor bahwa kita melakukan upaya pembenahan. Salah satu hal yang kita lakukan mengubah struktur leasing, jadi sistemnya. Kalau dulu bulanan sistem hitungnya, sekarang di boost sistemnya menjadi power by the hours, menjadi per jam. Kalau kita pakai 5 jam ya berarti hanya bayar lima jam sesuai dari durasi pemakaian. Lessornya mau tidak? Ya alot. Tapi kita terus mencoba. Ini contoh yang dilakukan.
Pandemi Covid-19 menjadi momentum yang tepat karena kalau Garuda sampai pailit mereka tidak akan dapat apa-apa. Kita harus sampai kesadaran menyelamatkan bersama-sama. Menyelamatkan Garuda Indonesia bisa dilakukan kalau kita mau berkorban. Pemerintah juga harus berkorban.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.