Bawaslu: Pengakuan Negara atas Eksistensi Masyarakat Adat Sering Jadi Masalah dalam Pemilu
Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin menyebut ada persoalan dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya terkait pemenuhan hak pilih masyarakat.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin menyebut ada persoalan dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya terkait pemenuhan hak pilih masyarakat.
Persoalan itu yakni menyangkut administrasi kependudukan yang beradu dengan nilai adat dari masyarakat adat.
Kata Afifuddin, seringkali pengakuan eksistensi masyarakat adat dan tanah ulayat oleh negara memunculkan permasalahan, utamanya dalam hal kepemiluan.
"Pengakuan eksistensi masyarakat adat dan tanah ulayat oleh negara seringkali jadi masalah," terang Afifuddin dalam diskusi daring 'Persiapan Pengawasan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024', Jumat (20/8/2021).
Sebagai contoh, Desa Ammatoa, di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan yang menjadi tempat bermukim masyarakat Kajang, punya keyakinan bahwa hidup tidak boleh berfoto dalam kondisi apapun.
Baca juga: Bawaslu RI Sebut Isu Wilayah Perbatasan dan Pemekaran Selalu Berulang pada Setiap Pemilu
Di sisi lain, syarat untuk dapat mengikuti pemungutan suara di TPS harus mempunya e-KTP. Sedangkan syarat memiliki KTP elektronik harus di foto.
"Masyarakat Kajang yang berkeyakinan bahwa hidup tidak boleh berfoto dalam kondisi apapun, sementara syarat memiliki KTP elektronik harus di foto," jelasnya.
"UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 202 ayat (2) dan Pasal 210 ayat (3) menyebut bahwa pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS hanya pemilih yang memiliki KTP elektronik," terang Afifuddin.