Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengamat Nilai Faktor Hinaan Masyarakat Meringankan Vonis Hakim Baru Pertama Terjadi di Indonesia

Pengamat menilai faktor hinaan masyarakat bisa meringankan vonis hakim baru pertama kali terjadi di Indonesia.

Penulis: Inza Maliana
Editor: Tiara Shelavie
zoom-in Pengamat Nilai Faktor Hinaan Masyarakat Meringankan Vonis Hakim Baru Pertama Terjadi di Indonesia
Tribunnews/Irwan Rismawan
Mantan Menteri Sosial (Mensos), Juliari Batubara mendengarkan kesaksian dari Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Ihsan Yunus saat sidang lanjutan kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19 di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (21/6/2021). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan 5 saksi yang dihadirkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tribunnews/Irwan Rismawan 

TRIBUNNEWS.COM - Pengamat Hukum Tata Negara, Feri Amsari, ikut menanggapi terkait ramainya faktor hinaan masyarakat yang meringankan hukuman dari mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dalam kasus suap dana bansos Covid-19.

Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini, faktor meringankan hukuman karena dihina masyarakat baru pertama kali terjadi di Indonesia, bahkan di dunia.

Feri pun mempertanyakan pertimbangan hakim dalam meringankan hukuman dari suara publik di media sosial.

Baca juga: MAKI Nilai Hinaan Masyarakat Harusnya jadi Pemberat Vonis Juliari: Karena Melukai Rasa Keadilan

"Saya pikir soal bully (jadi faktor meringankan hukuman, red) ini pertama, bukan hanya di Indonesia tapi mungkin di dunia."

"Yang melalui medsos jadi bahan pertimbangan dan alat ukurnya jadi tidak jelas," kata Feri, dikutip dari tayangan Youtube Kompas TV, Rabu (25/8/2021).

"Misalnya bagaimana kalau yang membully buzzer semua, apakah itu menjadi pertimbangan dari hakim untuk memberikan keringanan? Saya merasa tidak sesuai," tambah Feri.

Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari
Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari (Youtube KompasTV)

Menurutnya, dalam kasus suap yang dilakukan Juliari, ada banyak faktor yang justru bisa memberatkan vonis hakim.

Berita Rekomendasi

Oleh karena itu, Feri merasa heran karena hakim justru mencari-cari peluang yang bisa meringankan terdakwa.

"Padahal kalau mau mencari hal yang memberatkan, jauh lebih nyata buktinya yang bisa digunakan hakim."

"Tapi malah dicari-cari hal yang meringankan yang kemudian tidak lepas dari kejahatan yang telah dilakukan," ujar Feri.

Di sisi lain, Feri juga menyoroti pertimbangan suara publik yang dijadikan alasan meringankan di masa depan.

Ia khawatir, alasan tersebut justru bisa digunakan kembali untuk meringankan hukuman bagi para koruptor.

Terdakwa kasus dugaan korupsi bansos, Juliari Batubara meninggalkan Gedung ACLC KPK usai menjalani sidang vonis secara virtual, di Jakarta Selatan, Senin (23/8/2021). Mantan Menteri Sosial (Mensos), Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinyatakan bersalah dalam perkara bansos Covid-19. Tribunnews/Irwan Rismawan
Terdakwa kasus dugaan korupsi bansos, Juliari Batubara meninggalkan Gedung ACLC KPK usai menjalani sidang vonis secara virtual, di Jakarta Selatan, Senin (23/8/2021). Mantan Menteri Sosial (Mensos), Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinyatakan bersalah dalam perkara bansos Covid-19. Tribunnews/Irwan Rismawan (Tribunnews/Irwan Rismawan)

"Tentu dengan perseptif hakim mempertimbangkan publik di dunia maya, suatu waktu, orang bisa menggunakannya untuk dikapitalisasi meringankan hukuman para koruptor."

"Makanya saya katakan alat ukurnya tidak terang benderang bagi hakim untuk menilai," jelas Feri.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas