Akademisi Universitas Tanjungpura dan UPNVY: Food Estate Adalah Keniscayaan
Program Food Estate pun dialihkan prioritasnya di luar Pulau Jawa, khususnya di Kalimantan dan wilayah Indonesia bagian timur.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Program Food Estate yang dirancang pemerintah dan dikomandani Kementerian Pertanian (Kementan) disebut oleh akademisi Universitas Tanjungpura, Sulakhudin adalah hal yang memang dibutuhkan. Keberadaannya sebagai penyedia lumbung pangan nasional tak bisa lagi terelakkan.
"Food Estate atau lumbung pangan bagi sebuah negara agraris adalah keniscayaan," kata Sulakhudin, Kamis (26/8/2021).
Hanya saja, menurutnya, orientasi pembangunan ekonomi, infrastruktur dan industri yang fokus di Pulau Jawa, yang notabene merupakan pulau tersubur dan berpotensi sebagai lumbung pangan, membuat pulau ini menjadi kewalahan memberikan jaminan cadangan pangan nasional.
Program Food Estate pun dialihkan prioritasnya di luar Pulau Jawa, khususnya di Kalimantan dan wilayah Indonesia bagian timur.
Sulakhudin melanjutkan, seperti kita ketahui bersama, tingkat kesuburan tanah di Pulau Jawa (termasuk Bali dan Lombok) diibaratkan pada level bintang lima. Sedangkan Pulau Sumatera pada level bintang empat, Pulau Sulawesi dan Papua pada level bintang tiga, Pulau Kalimantan dan seputar NTT pada level bintang dua.
"Jadi, menggantikan kehilangan tanah sawah di Pulau Jawa dengan pengembangan lumbung pangan di Pulau Kalimantan dan seputar NTT setara perbandingan bintang lima dan bintang dua. Artinya, banyak masalah yang harus diselesaikan dan butuh waktu serta ketekunan para pihak dalam menanggulanginya," tutur Sulakhudin.
Menurutnya, Pulau Kalimantan mempunyai level kesuburan tanah terendah se-Indonesia, karena hampir tidak ada sumber gunungapi aktif yang memproduksi mineral hara tanah.
"Pulau ini hanya merupakan perbukitan terdiri dari tanah tua (podzolik merah kuning) yang miskin hara dan hamparan rawa atau tanah gambut yang rentan mengalami kerusakan berupa amblesan (subsidence), kebakaran, genangan (banjir), dan pH masam," terang Sulakhudin.
Sementara di kawasan seputar NTT umumnya tanah mineral, tetapi tak memiliki sumber air yang cukup untuk budidaya padi. "Karena umumnya di sana beriklim kering," tuturnya.
Akademisi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta (UPNVY), Muhammad Kundarto menuturkan, jika kita fokus mengamati program Food Estate di Kalimantan, maka ada cerita masa lalu pada lahan eks PLG (Proyek Lahan Gambur 1 juta hektar) yang gagal. Namun dalam kondisi terkini, kita bisa melihat banyak bentang lahan rawa yang dapat dibudidayakan sebagai tanah sawah.
"Hanya, sebagian lahan yang masih tergenang terlalu dalam dan pH tanah atau air yang terlalu rendah yang masih membutuhkan ketekunan perlakukan untuk mengubahnya," imbuh Kundarto.
Ia melanjutkan, genangan air butuh sentuhan sipil teknis untuk mengatur tata air inlet dan outlet. Sedangkan pH tanah yang terlanjur rendah membutuhkan pasokan air netral berkelanjutan untuk menaikkan pH.
Kegiatan di atas menurut Kundarto membutuhkan sentuhan dari para akademisi perguruan tinggi, lembaga penelitian dan para pihak lainnya untuk berkolaborasi secara terintegrasi.
"Sehingga gerak langkah penelitian, uji coba lapangan (demplot) dan pemberdayaan petani dapat dilakukan seiring-sejalan dengan introduksi teknologi tepat guna untuk memulihkan kerusakan lahan dan meningkatkan produksi pangan," tutur Kundarto.
Kundarto berpesan agar perjuangan melaksanakan program Food Estate di Pulau Kalimantan, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur ini juga perlu diimbangi dengan upaya mempertahankan lumbung pangan yang sudah ada di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Pulau Bali dan berbagai tempat lainnya.(*)