DPR Tunggu Surat dari Presiden Jokowi untuk Sodorkan Nama Calon Panglima TNI
Mengingat Panglima TNI saat ini akan segera memasuki masa pensiun, presiden diminta segera mengirimkan nama calon yang diharapkan.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Sanusi
Secara politik, Khairul menilai kebutuhan presiden hari ini adalah mendapatkan para pembantu dengan loyalitas tanpa reserve, terutama untuk memuluskan agenda-agenda politik dan pemerintahan.
Dari situ, bisa dilihat bahwa tidak ada barrier dalam relasi antara Presiden Jokowi dan Yudo Margono. Namun hal itu sekaligus menunjukkan bahwa Yudo tidak punya endorser yang sangat kuat untuk menggaransi dirinya terpilih.
"Sementara Andika Perkasa memiliki endorser kuat sekaligus barrier. Melalui sosok ayah mertuanya, Hendropriyono maupun dari beragam pernyataan dukungan dari sejumlah politisi dan tokoh," tambahnya.
Lobi Politik
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie menyebut isu lobi-lobi politik dalam pemilihan Panglima TNI perlu menjadi kekhawatiran, lantaran berpotensi mengganggu profesionalitas TNI.
Nama Andika yang sempat digadang oleh politisi Effendi Simbolon seolah tak bisa dielakkan lobi politik sudah merambah TNI.
Posisi pucuk pimpinan TNI, kata Ikhsan, perlu dipastikan steril dari upaya-upaya kepentingan atau intervensi politik kelompok tertentu untuk menghindari perebutan jabatan yang dapat menyebabkan ketidakkondusifan untuk internal TNI.
"Kesterilan ini juga perlu untuk memastikan netralitas dan profesionalitas TNI, terutama Panglima TNI, dalam agenda-agenda politik praktis seperti Pemilu dan Pilkada, karena tidak memiliki hutang politik pada kelompok tertentu. Sehingga pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI," kata Ikhsan, Senin (6/9).
Senada, Khairul menyatakan pergantian Panglima TNI merupakan sebuah proses politik, di mana presiden mengusulkan dan kemudian DPR akan menilai sebelum memutuskan setuju atau tidak dengan pilihan presiden.
Akan tetapi, yang tidak patut adalah jika para 'bakal calon' ini kemudian menggunakan instrumen atau kekuatan politik tertentu untuk memperkuat peluang untuk dipilih presiden.
Contohnya melalui komunikasi dan negosiasi politik yang ditampakkan melalui dukungan maupun pernyataan politisi yang menunjukkan keunggulan calon tertentu dibanding calon lainnya.
Jika ini yang terjadi dan proses politik berpihak pada pihak yang melakukan, akan sulit bagi publik untuk memandang objektif kiprah kelembagaan TNI.
"Sulit bagi TNI untuk secara fair berjarak dengan kekuatan politik yang 'getol' mendukung Panglimanya. Sulit membayangkan kekuatan-kekuatan politik pendukung itu tidak tertarik melibatkan TNI dalam 'mengamankan' kepentingannya," kata Khairul.
Sepanjang tak ada kebutuhan mendesak atau persoalan yang mengharuskan penggantian segera, presiden tidak bisa didikte. Apalagi menurut Khairul, siapapun yang terpilih, tidak akan ada banyak perbedaan. Selain kecakapan dasar dan kapasitas kepemimpinan yang kurang lebih setara, masing-masing kandidat juga punya keunggulan kompetitif.
Baca juga: Sebut Jenderal Andika Berpeluang Jadi Panglima TNI, Dukungan Effendi Simbolon Mewakili Siapa?