Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komnas HAM Tegaskan Laporannya Soal TWK KPK Tidak Bisa Disandingkan Dengan Putusan MA dan MK

Putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait TWK KPK tidak bisa disandingkan dengan hasil investigasi Komnas HAM.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Komnas HAM Tegaskan Laporannya Soal TWK KPK Tidak Bisa Disandingkan Dengan Putusan MA dan MK
Foto: Tribunnews.com/Gita Irawan
Komisioner Komnas HAM RI M Choirul Anam. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komnas HAM RI M Choirul Anam menegaskan hasil putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK dengan hasil investigasi Komnas HAM tidak bisa disandingkan dan tidak saling mempengaruhi.

Ia pun menyatakan agar putusan MA dan MK dengan hasil investigasi Komnas HAM tidak ditafsirkan saling mempengaruhi.

Anam mengatakan menyandingkan putusan MA dan MK dengan hasil investigasi Komnas HAM ibarat menyandingkan jeruk medan dan apel malang.

Menurutnya secara konsep, dasar dari putusan MK dan MA bersifat normatif.

Sedangkan, lanjut dia, dasar dari investigasi Komnas HAM adalah aspek faktual.

Komnas HAM, kata dia, tidak mempersoalkan norma dari aturan Undang-Undang (UU) terkait TWK melainkan mempersoalkan pelaksanaan dari Undang-Undang yang tidak sesuai dengan tujuan UU.

Berita Rekomendasi

"Tidak bisa disandingkan. Tidak saling mempengaruhi. Dan jangan ditafsirkan ini mempengaruhi, tidak, lain," kata Anam ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat (10/9/2021).

Baca juga: MA Tolak Gugatan Uji Materiil TWK, KPK Lanjutkan Proses Alih Status

Ia menjelaskan di dalam konstitusi pasal-pasal tentang HAM telah diakui secara norma.

Namun demikian faktanya dalam TWK, pelaksanaan pasal-pasal terkait HAM tersebut banyak masalah.

"Masa itu terus kita sandingin gara-gara babak belur (pelaksanaannya), normanya yang ada di konstitusi berubah, kan tidak. Atau sebaliknya, waduh ketika normanya ada terus faktanya babak yang belur dikatakan baik-baik saja, kan juga tidak. Karena itu memang tidak nyambung," kata dia.

Ia mengatakan fakta terkait pelaksanaan atau intensi pelaksanaan Undang-Undang adalah hal yang sangat signifikan.

Terlebih, kata Anam, Komnas HAM menemukan ada stigmatisasi hingga perendahan martabat perempuan dalam pelaksnaan TWK.

Baca juga: AJI Desak Jokowi Rampungkan Polemik TWK Pegawai KPK: Kami Tak Ingin Sikap Plin-plan

"Masa perintah Undang-Undang untuk melaksanakan sesuatu, (tapi) dilaksanakan dengan cara stigmatisasi, atau dengan cara merendahkan martabat perempuan misalnya, kan tidak. Itu tidak boleh," kata Anam.

Ia juga mengingatkan penyelenggaraan TWK adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang karena seharusnya merupakan alih status, namun pada pelaksanaannya adalah seleksi.

Ia pun mengingatkan sebenarnya tidak ada satu pasal pun dalam peraturan komisi terkait TWK yang bicara tentang pemecatan.

"Tolong tunjukkan ke kami ada tidak pasal di Perkom itu yang bicara soal pemecatan? Tidak ada. Judulnya Perkom saja Alih Status. Yang mecat dan tidak mecat itu adalah TWK," kata Anam.

Anam mengatakam Komnas HAM juga akan menyampaikan terkait hal tersebut ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Baca juga: Pasca Temuan Komnas HAM Terkait Polemik TWK, Eks Pimpinan KPK: Kepercayaan Publik akan Sangat Rendah

Untuk itu ia meminta Jokowi untuk merespons dan melaksanakan rekomendasi Komnas HAM.

Anam juga meminta agar Jokowi memberikan waktu Komnas HAM untuk bertemu dan menjelaskan terkait temuan dan rekomendasi tentang TWK tersebut meskipun sampai saat ini belum ada sinyal terkait pertemuan tersebut.

Ia berharap pertemuan antara Kommas HAM dan Jokowi dapat dilangsungkan dalam waktu dekat.

"Kami masih yakin bahwa nanti kami pasti akan diminta menjelaskannya. Karena kalau tidak masalah ini sangat serius. Jadi sekali lagi, temuan Komnas HAM itu tidak semata bermanfaat untuk melihat persoalan TWK KPK, tetapi bermanfaat tata kelola negara lebih luas agar menjadi tata kelola negara yang lebih baik. Seserius itu," kata dia.

Diberitakan sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait tes wawasan kebangsaan (TWK).

Untuk itu, Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) diminta berhenti mengurusi pelaksanaan TWK.

"MK dan MA untuk menegakkan supremasi hukum dan ini menegaskan bahwa tidak boleh lagi ada lembaga-lembaga lain yang membersamai dan menandingi kewenangan MK dan MA," ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron lewat keterangan tertulis, Jumat (10/9/2021).

Ghufron menuturkan, MA dan MK merupakan lembaga negara yang berwenang untuk menguji keabsahan perundang-undangan.

Menurutnya, rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM tidak perlu dilanjutkan karena MA dan MK sudah bersabda.

"MK dan MA telah memutuskan bahwa Perkom Nomor 01 Tahun 2021 tentang tatacara Peralihan Pegawai KPK Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah konstitusional dan sah," ujar Ghufron.

"Hal ini menepis tuduhan bahwa Perkom 1/2021 yang di dalamnya mengatur TWK pembentukannya dilakukan secara maladministrasi termasuk tuduhan bahwa melanggar HAM sebagai hak konstitusional pegawai KPK," tambahnya.

Namun begitu, pihaknya menghargai segenap pihak dan pegawai KPK yang telah menyalurkan haknya konstitusional untuk memohon pengujian tafsir terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan Perkom Nomor 1 Tahun 2021.

Sebelumnya, MA menolak permohonan uji materi pegawai nonaktif KPK nonaktif Yudi Purnomo dan Farid Andhika terkait Perkom 1/2021.

Majelis menilai secara substansial desain pengalihan pegawai KPK menjadi ASN mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan peraturan pelaksanaannya.

TWK, menurut majelis hakim agung, menjadi salah satu yang diterima sebagai ukuran objektif untuk memenuhi syarat pengisian jabatan tersebut.

TWK juga menjadi syarat saat seleksi ASN dan saat pengembangan karier pegawai negeri sipil (PNS).

Majelis berujar Perkom 1/2021 tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU 19/2019, PP 41/2020, dan Putusan MK nomor: 70/PUU-XVII/2019, serta Putusan MK nomor: 34/PUU-XIX/2021.

"Mengadili, menolak permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon I: Yudi Purnomo dan Pemohon II: Farid Andhika. Menghukum Pemohon I dan Pemohon II untuk membayar biaya perkara Rp1 juta," demikian dikutip dari situs MA, Kamis (9/9/2021).

Sementara, MK menolak seluruh permohonan KPK Watch Indonesia terkait pasal peralihan status pegawai KPK menjadi ASN dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

MK memutuskan proses alih status pegawai KPK lewat TWK tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Putusan itu menegaskan bahwa TWK tetap konstitusional.

“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan dikutip YouTube MK, Selasa (31/8/2021).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas