Dorong KLHK Buka Peta Jalan Atasi Sampah Plastik Sekali Pakai ke Publik
Hal itu bertujuan agar publik mengetahui keseriusan produsen dalam mengatasi permasalahan sampah di Indonesia.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM - Greenpeace Indonesia mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar membuka ke publik, rencana peta jalan (roadmap) pengurangan sampah yang sudah dilaporkan industri kepada KLHK.
Hal itu bertujuan agar publik mengetahui keseriusan produsen dalam mengatasi permasalahan sampah di Indonesia.
Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, mengatakan penyusunan dan penyerahan rencana peta jalan pengurangan sampah yang dilakukan para pelaku industri merupakan langkah awal yang memang harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Namun saat ini, kami mendorong untuk dibukanya rencana ini agar dapat diakses, dibaca, serta dinilai oleh publik secara luas, apakah memang para produsen ini menyusun rencana yang benar-benar serius untuk mengatasi permasalahan sampah di Indonesia,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (13/9/2021).
Pelaporan rencana peta jalan pengurangan sampah oleh industri itu dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Baca juga: Organisasi Konservasi Sebut Komodo akan Punah, KLHK : Jumlahnya Justru Meningkat
Baca juga: KLHK Lepas Liar 12 Satwa Endemik Papua di Hutan Adat Isyo
Peraturan ini mengharuskan industri membuat perencanaan bagaimana mengurangi sampah mereka dalam 10 tahun sampai dengan dengan 30%, yang dimulai sejak tahun 2020 lalu.
Sebelumnya, Atha melihat keanehan, di mana pada saat pemerintah berusaha untuk menargetkan pengurangan sampah, khususnya sampah plastik, justru ada pelaku industri yang malah mengeluarkan produk-produk baru yang berpotensi menimbulkan sampah seperti produk air minum dalam kemasan (AMDK).
Seharusnya pelaku industri AMDK itu mulai tahun 2020 lalu sudah harus membuat perencanaan bagaimana mengurangi sampah mereka dalam 10 tahun kedepan hingga 30% seperti yang diminta dalam Peraturan Menteri LHK No.75 Tahun 2019.
“Tapi, yang mereka lakukan kok malah mengeluarkan produk-produk baru yang ternyata malah berpotensi menimbulkan sampah dengan alasan produk itu bisa didaur ulang,” tukas Atha.
Baca juga: Greenpeace Indonesia: Plastik Berbahan PET Dapat Didaur Ulang, Tapi Belum Tentu Ramah Lingkungan
Menurut Atha, industri yang memproduksi galon sekali pakai itu jangan hanya melihat dari sisi botolnya saja yang berbahan PET yang kemudian diklaim bisa didaur ulang dan menjadi salah satu jenis plastik yang bernilai tinggi yang dicari oleh para pemulung, tapi mereka juga harus melihat label dan tutupnya yang ternyata masih berpotensi menjadi sampah.
Jadi, kata Atha, sesuai Peraturan Menteri LHK, ketika ada inovasi produk baru seperti galon sekali pakai ini, produsennya juga harus membuka bagaimana pertanggungjawaban mereka kepada konsumen agar produk yang mereka keluarkan itu tidak lagi berpotensi menjadi sampah.
Pengamat regulasi persampahan, Asrul Hoesein, juga mempertanyakan sikap KLHK yang seakan membiarkan kehadiran galon sekali pakai di tengah adanya kebijakan pelarangan plastik sekali pakai.
“Kenapa pada saat muncul pelarangan plastik sekali pakai, KLHK justru membiarkan salah satu industri memproduksi kemasan galon sekali pakai. Harusnya KLHK kan menegur mereka,” ujarnya.
Menurut Asrul, kemasan galon sekali pakai ini jelas akan menambah tumpukan sampah plastik di lingkungan. Dalam hal ini, KLHK terbukti tidak serius menjalankan peraturan yang dibuatnya sendiri.