Pengakuan Pegawai Pajak terkait Manipulasi Angka SKP PT Jhonlin Baratama, dari Rp 63 M Turun Rp 10 M
Febrian tak membantah ada manipulasi untuk angka Surat Ketetapan Pajak (SKP) Kurang Bayar PT Jhonlin Baratama pada 2016 dan 2017.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Febrian membenarkan adanya pengondisian nilai pajak yang seharusnya dibayar PT Jhonlin Baratama ke negara.
Pengondisian itu atas permintaan PT Jhonlin Baratama dan restu mantan direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP Angin Prayitno Aji dan mantan kepala Sub-Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan DJP Dadan Ramdani.
Febrian mengungkapkan pengondisian itu saat bersaksi dalam sidang perkara suap pengurusan pajak dengan terdakwa Angin Prayitno Aji dan Dadan Ramdani, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (27/9/2021).
Diketahui, PT Jhonlin Baratama merupakan anak usaha Jhonlin Group milik Samsudin Andi Arsyad alias Haji Isam.
Febrian membeberkan pengondisian itu setelah sebelumnya jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyinggung keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
"Di BAP saudara Nomor 42 terkait pajak PT Jhonlin, ini ada rinciannya, dan bagaimana caranya menghitung terkait ada cara mengkondisikan yang anda sebut disini (BAP)?," cecar jaksa kepada Febrian.
Baca juga: KPK Dalami Pemeriksaan Pajak Gunung Madu Plantations, Bank Panin, dan Jhonlin Baratama
"Iya benar," jawab Febrian.
"Untuk Jhonlin itu memang ada yang saya kondisikan, saya tuangkan disitu apa adanya sesuai draft saya, tapi kan setahu saya DJP sedang melakukan pemeriksaan ulang dan sudah saya bantu juga untuk menyerahkan SKP saya ini sebagai panduan kepada DJP sebagai pemeriksaan ulang," ungkap Febrian.
Febrian tak membantah ada manipulasi untuk angka Surat Ketetapan Pajak (SKP) Kurang Bayar PT Jhonlin Baratama pada 2016 dan 2017.
Dalam BAP, Febrian mengaku, secara total untuk laporan pemeriksaan pajak PT Jhonlin Baratama tahun 2016 kurang bayar lebih dari Rp 70 miliar.
Padahal, kondisi seharusnya Rp 91 miliar.
Sehingga ada selisih lebih dari Rp 20 miliar.
"Itu sesuai perhitungan saya," ujar Febrian.