Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribun

HUT ke-17, DPD RI Diminta Fokus Tunjukkan Efektivitas hingga Wakili Suara Daerah

peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai keberadaan dan peran DPD dalam konstelasi ketatanegaraan perlu dih

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in HUT ke-17, DPD RI Diminta Fokus Tunjukkan Efektivitas hingga Wakili Suara Daerah
Tribunnews/HO/Biro Pers Setpres/Muchlis Jr
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (16/8/2021). Pidato Presiden Jokowi tersebut sekaligus dalam rangka HUT Ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi mengenakan busana adat dari suku Baduy, Banten. Tribunnews/HO/Biro Pers Setpres/Muchlis Jr 

Namun Bivitri menggarisbawahi bahwa untuk mewujudkan hal itu tidak harus dengan adanya wewenang baru DPD via amandemen terbatas. Melainkan cukup dengan menunjukkan apa yang ada di daerah untuk dibawa ke Senayan, dikuatkan isunya dan dikomunikasikan ke publik. 

"Sehingga publik paham, oh perwakilan DPD daerah saya memang memperjuangkan kepentingan daerah saya. Ini sekarang nggak kelihatan, yang kelihatan DPD lebih fokus ngomongin soal amandemen," ucapnya.

"Jadi 17 tahun harusnya refleksinya lebih dalam, jangan cepat berbahagia karena tidak diganggu seperti halnya KPK dan MK. Sebab tidak diganggu itu sesungguhnya mungkin karena lembaganya tidak efektif, dan jadi loop hole yang mudah dimanfaatkan oleh kepentingan politik yang masuk melalui DPD. Karena letak DPD ada di Senayan, di konstitusi, dan secara kelembagaan dekat dengan Presiden tapi akhirnya hanya menjadi kendaraan-kendaraan politik," imbuhnya. 

Senada, Direktur Eksekutif LIMA Indonesia Ray Rangkuti turut menyayangkan DPD yang saat ini lekat dengan isu amandemen terbatas. Dimana seolah-olah keterlibatan DPD dalam isu dibarter dengan meningkatnya kewenangan mereka. 

"Alih-alih isu ini menguntungkan DPD yaitu dengan memungkinkan orang meningkatkan kewenangannya, yang ada malah sikap orang menjadi takut kalau DPD diberi wewenang tambahan karena bakal meminta Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) diperkuat," kata Ray. 

Ray mengungkap semestinya semua pihak setuju kewenangan DPD harus diperkuat, diperbaiki, dan direvisi. Akan tetapi tanpa mengaitkan dengan isu PPHN yang terlihat seperti dibarter.

 "Jadi karena ingin menaikkan status dan kewenangannya seperti di wacana amandemen terbatas, terlihat memang DPD makin kuat kewenangannya bahkan makin setara dengan DPR. Tapi dengan persetujuan DPD terhadap konsep PPHN itu justru mengaburkan keinginan kita untuk DPD yang lebih kuat," ucapnya. 

Berita Rekomendasi

Sedangkan anggota dewan kehormatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyoroti DPD dari sisi berbeda. 

Menurutnya ada problem dalam DPD mengingat posisi mereka didapatkan dengan kontestasi yang sangat kompetitif dan memiliki biaya tinggi --lebih dari biaya pencalegan DPR dan DPRD--, namun kinerja mereka jauh dari kata memuaskan. 

"Bagi saya, secara vulgar saya katakan DPD itu sebuah posisi yang proses eleksinya sangat kompetitif, berbiaya tinggi tapi kinerjanya tertatih-tatih," kata Titi. 

Problem lain terlihat ketika pemilu serentak 2019 menunjukkan fakta bahwa surat suara tidak sah DPD paling tinggi diantara yang lain. Tercatat 29 juta lebih atau setara dengan 19npersen lebih surat suara DPD tidak sah. 

Titi menyebut tingginya suara tidak sah menandakan ketidakpedulian publik terhadap DPD atau posisi DPD yang dianggap tidak signifikan dan tidak penting di tengah desain pemilu serentak lima kotak yang kita hadapi.

"Karena dari segi logika seharusnya lebih mudah memilih surat suara DPD daripada DPR dan DPRD. Tapi faktanya suara tidak sah DPD jauh lebih tinggi daripada yang lain. Jangan-jangan ini merefleksikan bahwa orang tidak kenal institusi DPD. Jadi pemahaman, pengetahuan, kesadaran soal eksistensi DPD itu buruk," kata Titi.

Menurut dugaan Titi, di tengah kompleksitas pemilu serentak lima kotak suara, para pemilih tidak menganggap penting posisi DPD atau DPD tidak dianggap terlalu krusial didalam menyuarakan suara mereka. Sementara DPR dan DPRD dianggap lebih memiliki ikatan dengan pemilih karena terdapat afisiliasi partai politik. 

"Kalau DPR dan DPRD, pemilih kita mungkin merasa lebih punya ikatan. Sehingga kalaupun mereka tidak kenal calonnya, mereka akan memilih dari gambar partai. Tapi DPD ini kan buah dari eksistensi lembaga sebenarnya. Jadi harapan saya di usia 17 tahun, DPD itu merefleksi ulang perjalanan eksistensi kelembagaannya," jelasnya. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha) 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas