HUT ke-17, DPD RI Diminta Fokus Tunjukkan Efektivitas hingga Wakili Suara Daerah
peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai keberadaan dan peran DPD dalam konstelasi ketatanegaraan perlu dih
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNETWORK - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memperingati hari jadinya yang ke-17 pada 1 Oktober 2021.
Di hari jadinya itu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai keberadaan dan peran DPD dalam konstelasi ketatanegaraan perlu dihadirkan kembali.
Sebab DPD seolah terjebak dalam tata kelola kelembagaannya hingga terlalu fokus terlibat dalam wacana amandemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Selain kewenangan lembaga yang dinilai masih belum memadai, banyak persoalan lain yang disebabkan oleh tata kelola kelembagaan DPD yang diatur mengikuti selera para pemimpinnya. Apa perlu DPD ini dibubarkan?" kata Lucius, dalam diskusi '17 tahun DPD RI, Apa Khabar Kini?', Jumat (1/10).
Direktur Pusat Studi Komunikasi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan pembubaran DPD tidak menyelesaikan dan justru menimbulkan masalah baru. Karena secara konstitusional pembubaran DPD harus dilakukan dengan merubah UUD.
"Ketika UUD dirubah ini jadi problematika sendiri, karena yang bersukacita kemungkinan MPR ya. Tapi saya tahu bang Lucius bicara pembubaran dalam konteks menyindir agar DPD lebih produktif dan maksimal bekerja," kata Feri.
Baca juga: Peringatan HUT ke-17 DPD RI, Bamsoet Ajak DPD RI Kaji Urgensi PPHN
Feri tak bisa menampik bahwa kekesalan publik muncul terhadap DPD lantaran sebuah lembaga gagal bekerja dengan maksimal, padahal mekanisme untuk membangun kewenangan agar berjalan lebih baik itu ada.
Namun, menurutnya tidak bisa DPD dibubarkan begitu saja. Akan lebih baik untuk mendorong kehadiran DPD agar terasa bagi publik serta membangun DPD untuk mampu memaksimalkan kewenangannya yang ada dengan lebih berpihak kepada publik luas.
"Jadi salah satu caranya adalah kepemimpinan DPD harus berubah bahwa mereka ada untuk membangun sistem, agar kemudian DPD betul-betul bisa membuka ruang, ide, saran, gagasan dari daerah untuk diperjuangkan di tingkat nasional. Menurut saya perlu untuk mempropaganda DPD agar menggunakan kewenangannya secara maksimal dengan cara yang tepat, sehingga publik bisa merasakan kehadirannya dengan baik," katanya.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengusulkan agar DPD di hari jadinya lebih fokus menunjukkan efektivitasnya ke publik.
Menurutnya banyak publik yang tidak mengetahui tugas dan fungsi DPD.
Padahal, kata dia, salah satu gagasan yang didukung publik seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berhasil didorong karena kinerja DPD.
"Ketika saya dan Komnas perempuan mendorong RUU penghapusan kekerasan seksual itu masuknya dari DPD, nggak banyak yang tahu kan? Karena tidak dikomunikasikan ke publik. Juga karena ketika sampai DPR RI, kadang-kadang diklaim usulan dari DPR, padahal kerjanya DPD. Itu terjadi karena tidak ada komunikasi politik yang baik," kata Bivitri.
Selain itu, dia meminta agar DPD kembali pada desain awal lembaganya yakni untuk mewakili daerah.