Asal Usul Tradisi Rebo Wekasan, Pandangan Islam serta Hukum Shalat Rebo Wekasan
Berikut ini asal usul tradisi rebo wekasan, pandangan fiqih, hukum shalat Rebo Wekasan serta tata cara shalat lidaf'il bala atau shalat tolak bala.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
TRIBUNNEWS.COM - Sebagian kalangan memperingati rebo wekasan sebagai waktu untuk melakukan tolak bala.
Rebo Wekasan ini dipercayai sebagai waktu akan diturunkannya bala atau malapetaka.
Adapun waktu Rebo Wekasan yang diperingati oleh sebagian kalangan itu yakni pada hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Qamariyah.
Dikutip dari tebuireng.online, sebagian orang Indonesia melakukan amalan yang dilakukan pada hari Rebo Wekasan.
Amalan tersebut adalah shalat tolak bala’, berdoa dengan doa-doa khusus, minum air jimat, selamatan, sedekah, silaturrahin, dan berbuat baik kepada sesama.
Tradisi ini awalnya dilakukan atas anjuran dari Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (w.1151 H) dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid.
Selain kitab tersebut, anjuran senada juga terdapat pada kitab: ”Al-Jawahir Al-Khams” karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H), Hasyiyah As-Sittin, dan lain-lain.
Kitab-kitab tersebut menyebutkan tentang seorang Waliyullah (orang yang mencapai kedudukan tertinggi dan sulit dimengerti orang lain) yang mengatakan Allah SWT menurunkan 320 ribu macam bala' atau malapetaka pada satu malam di hari Rabu terakhir bulan Safar.
Baca juga: Apa Itu Peristiwa Rebo Wekasan? Berikut Penjelasan dan Hukumnya dalam Pandangan Islam
Terdapat hukum meyakini akan datangnya malapetaka yang dijelaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini merupakan respon Nabi Muhammad SAW terhadap tradisi yang berkembang di masa Jahiliyah berdasarkan pandangan al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali.
Kemudian, Ibnu Rajab menuliskan dalam Lathaif al-Ma’arif, hal. 148, maksud hadits tersebut adalah orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut.
Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya. Barangkali pendapat ini yang paling benar.