Peneliti BRIN Ungkap Sejumlah Dampak Jika Perwira Tinggi TNI/Polri Jadi Pejabat Kepala Daerah
Diandra Mengko mengungkap berbagai dampak bila perwira tinggi (Pati) TNI/Polri ditunjuk menjadi Penjabat (Pj) Kepala Daerah.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Diandra Mengko mengungkap berbagai dampak bila perwira tinggi (Pati) TNI/Polri ditunjuk menjadi Penjabat (Pj) Kepala Daerah.
Diandra mengatakan apabila wacana tersebut terus dipaksanakan tentu akan mengancam demokrasi karena mencampuradukan ranah militer, penegakan hukum, dan politik.
Kedua, kata dia, langkah tersebut akan berdampak buruk bagi profesionalisme aktor keamanan.
Apabila perwira tinggi TNI/Polri menjabat Pj kepala daerah maka akan menghambat agenda reformasi militer.
Ia mensimulasikan apabila ada 50 pati yang ditunjuk sebagai Pj Kepala Daerah kemudian setiap pati tersebut punya personel di satuan yang harus dibina sebanyak 100 orang maka ada sekira 5.000 prajurit yang kehilangan pembinaan dalam satu atau dua tahun masa jabatan pati yang menjadi Pj tersebut.
Hal tersebut disampaikannya Diandra Mengko dalam Diskusi Bulanan Sekolah Demokrasi LP3ES bertajuk TNI/Polri Menjadi Penjabat Kepala Daerah: Kemunduran Demokrasi dan Reformasi Birokrasi? di kanal Yotube LP3ES Jakarta pada Jumat (8/10/2021).
Baca juga: Peneliti BRIN: Penjabat Kepala Daerah dari TNI/Polri akan Sulit Diusut Jika Lakukan Kesalahan
"Sementara negara lain sedang bicara mengenai angkatan luar angkasa, pesawat-pesawat canggih, sementara kita di sini kok ya masih sibuk berpolitik. Itu kan mestinya fokus pembangunan profesionalisme TNI diarahkan ke sana," kata dia.
Ketiga, kata dia, pelibatan tentara dan polisi tidak menjamin penyelenggaraan Pemilu yang semakin baik.
Karena berdasarkan pengalaman sebelumnya TNI-Polri juga akan terpapar dengan politik.
Keempat, kata dia, adalah apabila wacana tersebut terus dipaksakan merefleksikan inkonsistensi pemerintah dalam menjalankan aturan hukum itu sendiri atau bermain-main dengan hukum.
Kemudian, kata dia, apabila wacana tersebut terus dipaksakan ia justru melihat pemerintah sama sekali tidak menghargai prinsip profesionalisme aktor keamanan.
Baca juga: Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi UI: Sebaiknya Penjabat Kepala Daerah Diisi ASN
Padahal, kata dia, selama ini banyak kalangan militer, kepolisian, dan sipil yang mati-matian mendorong profesionalisme militer dan kepolisian.
"Ngapain kita beli senjata mahal-mahal kalau ujung-ujungnya ditarik ke politik? Jadi perlulah itu dijaga semua sama kita," kata dia.
Selanjutnya, kata dia, apabila pertimbangan pemerintah adalah tingkat kerawanan, justru menurutnya karena hal tersebut rawan maka pemerintah jangan menunjuk TNI-Polri sebagai Pj Kepala Daerah.
"Kenapa? Karena semakin kita menunjuk TNI, kita semakin membawa mereka ke ranah politik. Ketika kita membawa ke ranah politik semakin sulit mereka dianggap netral di publik dan akan semakin sulit juga mereka melaksanakan tugasnya dalam menjaga keamanan dan ketertiban," kata Diandra.
Untuk itu ia menegaskan penunjukan TNI-Polri sebagai Pj Kepala Daerah akan menimbulkan permasalahan baru.
Baca juga: BRIN Sebut Kekhawatiran Masyarakat terkait Wisata Glow di Kebun Raya Bogor tidak Beralasan
Sebagai negara hukum, kata dia, seyogyanya pemerintah mengikuti aturan yang berlaku.
Sebagai negara, kata dia, demokrasi pemerintah mestinya memegang teguh prinsip profesionalisme aktor keamanan dan menjaga aktor keamanan untuk tidak terlibat dalam ruang-ruang politik.
"Dengan demikian alangkah bijak kalau pemerintah mempertimbangkan kalangan sipil saja di luar aktor keamanan untuk menjabat jabatan PJ Kepala Daerah. Dengan begitu ya mungkin tidak menyelesaikan masalah, tetapi tidak menimbulkan masalah baru," kata dia.