Aliran Uang ke Puput dan Suami terkait Mutasi Jabatan di Pemkab Probolinggo Ditelusuri KPK
(KPK) memeriksa tujuh saksi dalam kasus dugaan suap, gratifikasi, serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan Bupati nonaktif Probolinggo
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa tujuh saksi dalam kasus dugaan suap, gratifikasi, serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan Bupati nonaktif Probolinggo Puput Tantriana Sari (PTS) dan suaminya sekaligus anggota DPR nonaktif Hasan Aminuddin (HA).
Saksi-saksi itu diperiksa di gedung Merah Putih KPK pada Kamis (21/10/2021) untuk melengkapi berkas perkara Puput.
Adapun yang diperiksa yaitu, Edy Suryanto, Kadis Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Probolinggo; Ponirin, Camat; Puja, Camat Besuk; Rachmad Hidayanto, Camat Pajarakan; Imam Syafii, Camat Banyuanyar; Heri Sulistyanto, Asisten Pemerintahan dan Kesra Setda Kabupaten Probolinggo; serta Zulfikar Imawan Hir, Wiraswasta.
"Seluruh saksi hadir dan dikonfirmasi antara lain terkait dengan dugaan penerimaan sejumlah uang oleh tersangka PTS dan tersangka HA melalui beberapa pihak," ungkap Plt juru bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (22/10/2021).
Baca juga: KPK Periksa 15 Saksi terkait Kasus TPPU Puput Tantriana, Salah Satunya Ketua DPD NasDem Probolinggo
Lebih jauh, Ali mengatakan, duit yang diterima Puput dan Hasan diduga untuk melicinkan mutasi jabatan di Pemerintah Kabupaten Probolinggo.
"Terkait dengan pengangkatan Pj Kepala Desa dan juga mutasi jabatan di Pemerintah Kabupaten Probolinggo," katanya.
Diketahui, KPK menetapkan pasangan suami istri, Puput dan Hasan, sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi dan pencucian uang.
Penetapan ini merupakan pengembangan kasus dugaan suap terkait seleksi jabatan atau jual beli jabatan penjabat kepala desa (kades) di Pemkab Probolinggo yang menjerat Puput, Hasan, dan 20 orang lainnya.
Dalam kasus jual beli jabatan kades, Puput dan Hasan mematok tarif Rp20 juta untuk aparatur sipil negara (ASN) yang ingin menjadi pejabat kepala desa.
Tak hanya uang Rp20 juta para calon pejabat kepala desa juga wajib memberikan upeti dalam bentuk penyewaan tanah ke kas desa dengan tarif Rp5 juta per hektare.