Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Asuransi Bermasalah, Apa Upaya Hukum yang Bisa Dilakukan Nasabah? Ini Penjelasan Advokat

Ini upaya hukum yang bisa dilakukan ketika asuransi anda bermasalah, simak penjelasan dari advokat hukum.

Penulis: Shella Latifa A
Editor: Daryono
zoom-in Asuransi Bermasalah, Apa Upaya Hukum yang Bisa Dilakukan Nasabah? Ini Penjelasan Advokat
Freepik
Ilustrasi hukum - Ini upaya hukum yang bisa dilakukan ketika asuransi anda bermasalah, simak penjelasan dari advokat hukum. 

TRIBUNNEWS.COM - Sebagian publik menilai produk asuransi bisa menjamin dan meminimalisir resiko peristiwa buruk di masa depan.

Namun sayangnya tak sedikit muncul polemik di tengah perjalanan asuransi.

Misalnya, besaran klaim asuransi tak sesuai dengan premi yang dibayar setiap bulannya.

Jika terlibat masalah asuransi, apa upaya hukum yang bisa dilakukan nasabah?

Advokat Taufiq Nugoroho menyebut ada dua jenis upaya hukum yang bisa dilakukan nasabah asuransi, yaitu non-litigasi dan litigasi.

Baca juga: Masyarakat Keluhkan Produk Asuransi Unit Link, Pimpinan DPR Minta Polri Tindak Tegas

Langkah non-litigasi ini bisa dilakukan seseorang dengan mengadukan masalahnya ke lembaga perlindungan konsumen, baik itu yang berada di bawah pemerintah maupun swasta (swadaya masyarakat).

Namun, kata Taufiq, non-litigasi itu tak ada upaya eksekusi sehingga hasil akhirnya biasanya berupa himbauan.

Berita Rekomendasi

"Non litigasi ini tidak punya daya eksekutorial. Misal saat mediasi kita menang, pihak asuransi salah."

"Lembaga tidak bisa memaksakan pihak asuransi membayar klaim asuransi yang harusnya kita dapat," kata Taufiq dalam program Kacamata Hukum Tribunnews.com, Senin (18/10/2021).

Taufiq Nugroho dalam  Kacamata Hukum Tribunnews, Senin (18/10/2021).
Advokat Taufiq Nugroho dalam tayangan YouTube Kacamata Hukum Tribunnews, Senin (18/10/2021).

Sementara untuk upaya litigasi bisa dilakukan secara gugatan perdata atau laporan pidana, tergantung dari jenis masalah yang dihadapi.

Gugatan Perdata

Taufiq mengatakan, nasabah yang mendapati masalah dimana pihak asuransi tidak melakukan kewajibannya sesuai perjanjian bisa mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan.

Misalnya, dalam perjanjian, pihak asuransi wajib membayar klaim tetapi tidak dilakukan.

"Kita sudah bayar premi lunas tepat waktu, tapi tidak dibayar oleh perusahaan."

"Kalau kaitannya jelas ini ada di perjanjian tapi tidak dibayar, itu bisa masuk ke gugatan perdata wanprestasi," lanjut dia.

Baca juga: Dinilai Semakin Penting, Simak Hal Ini Sebelum Memilih Asuransi

Dalam gugatan wanprestasi ini, nasabah bisa meminta ganti rugi materiil dan immateril.

Contoh kasus, nasabah asuransi kesehatan tidak mendapat klaim dari perusahaan yang berakibat ia tak kunjung sembuh dan kehilangan pekerjaan.

"Materiil itu kerugiaan murni, riil yang harusnya kita dapat tapi gara-gara perusahaan kita mengalami kerugian," jelas dia.

"Gara-gara asuransi ini tidak melakukan kewajibannya dampaknya jelas membuat kita rugi," imbuh dia.

Ilustrasi polisi asuransi jiwa.
Ilustrasi polisi asuransi jiwa. (Eudelindia)

Sedangkan, ganti rugi immateril, menurut Taufiq, bisa dilakukan namun akan jarang dikabulkan majelis hakim.

"Immateril seperti gara-gara asuransi tidak tercover kita stress dan tidak tenang."

"Pengalaman saya sebagai advokat 10 tahun, immateriil jarang dikabulkan," kata Managing Partners Taufiq Nugroho & Partners itu.

Adapun alat bukti yang bisa dilampirkan, antara lain identitas nasabah dan pihak asuransi, perjanjian asuransi, kartu polis, dan bukti transfer pembayaran premi.

Baca juga: Saleh Husin: Pentingnya Masyarakat Terlindungi Layanan Asuransi

Lapor ke Polisi

Untuk kasus asuransi yang bisa di bawah ke ranah pidana, yakni berupa penggelapan dan penipuan.

Taufiq pun memberi contoh kasus, dimana nasabah sudah membayar premi secara rutin, tetapi laporan pembayarannya tidak ada.

Ilustrasi hukuman penjara news (https://pixabay.com/)
Ilustrasi hukuman penjara news (https://pixabay.com/) (https://pixabay.com/)

Dikatakannya, kasus itu termasuk penggelapan premi berdasarkan pasal 76 UU Perasuransian.

"Ada yang menggelapkan, bisa saja agen atau orang perusahaan. Di UU Perasuransian ada ancaman pidananya, bisa dilaporkan ke polisi."

"Pasal 76 UU Perasuransian, setiap orang yang menggelapkan Premi atau Kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat 5 dan Pasal 29 ayat 4 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Iima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 5 miliar," jelas Taufiq.

Lanjutnya, Taufiq pun menjelaskan satu contoh kasus penipuan.

Yakni, seorang nasabah sebagai korban termakan janji palsu akan mendapatkan bonus jika ikut mendafatar asuransi.

Dari kasus itu, pelaku bisa terancam pidana 7 tahun penjara.

"Ketika agen ini memberikan janji palsu, nanti akan dapat ini, ternyata itu tidak ada. Si agen yang salah bisa dilaporkan dengan tindak pidana penipuan," kata dia.

(Tribunnews.com/Shella Latifa)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas