BNPT Ungkap Urgensi UU yang Bisa Jerat Aktor Ideolog Radikalisme dan Ekstremisme Keagamaan
Maka dengan dasar UU tersebut mereka bisa ditangkap dan ditindak sebelum melakukan aksi teror melalui dilakukan preventif strike.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid mengungkapkan urgensi Undang-Undang yang bisa menjerat aktor ideolog radikalisme dan ekstremisme keagamaan.
Ia menjelaskan Undang-Undang (UU) 5/2018 tentang pemberantasan tindak terorisme hanya bisa menjerat mereka yang sudah melakukan aksi teror dengan indikator indeks potensi radikalisme terorisme.
Selain itu, UU tersebut juga bisa menjerat mereka yang sudah masuk ke dalam jaringan teror yang ditandai dengan sumpah baiat dengan melakukan latihan perang.
Maka dengan dasar UU tersebut mereka bisa ditangkap dan ditindak sebelum melakukan aksi teror melalui dilakukan preventif strike.
Namun demikian, lanjut dia, UU tersebut belum melarang ideologi yang menjiwainya atau radikalismenya di antaranya ideologi khilafah, daulah, atau ideologi radikal keagamaan lain yang belum ada larangannya di negeri ini.
Selama ini, kata dia, ideologi yang secara resmi dinyatakan terlarang di Indonesia hanya Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.
Baca juga: BNPT Harap MUI Keluarkan Fatwa Ideologi NII dan Radikal Takfiri Lainnya Sesat
Tetapi, kata dia, ideologi radikal keagamaan yang relevan saat ini mengancam eksistensi ideologi negara Pancasila maupun integrasi NKRI belum ada.
Sehingga, kata dia, kelompok radikal yang telah dibubarkan pemerintah masih bisa mempopagandakan atau menggelorakan ideologi radikal keagamaan tersebut.
Ia pun menyinggung kasus di Gaeut di mana 59 anak diduga dibaiat oleh kelompok NII.
Menurutnya, 59 anak tersebut hanyalah korban.
Hal tersebut disampaikannya dalam Live Talk Show Tribun Network bertajuk: Mewaspadai Paham Radikalisme pada Jumat (29/10/2021).
"Tetapi bagi para ideolog yang meradikalisasi yang membaiat ini tindakannya pakai apa? Pakai UU antiteror tidak bisa. Paling banter nanti kalau ketemu bukti kita terapkan pasal makar, itu pun sangat tipis. Atau UU ITE, atau kemungkinan nanti UU lambang negara, termasuk UU tentang bendera dan lambang negara," kata dia.
Ia juga mengatakan belum adanya regulasi yang melarang ideologi radikal keagamaan tersebut menjadi hambatan utama dalam upaya pencegahan radikalisme terorisme di Indonesia.
"Hambatan paling utama yaitu regulasi tadi. Jadi, mindset kita begini. Kalau kita bicara teroris, itu analoginya ibarat buah. Pohonnya adalah radikalisme atau ekstremisme itu. Seperti waktu kami dulu di Densus, sampai kapan kira memetik buah terorisme kalau pohon radikalismenya masih dibiarkan tumbuh subur dan berkembang, tidak ada larangannya," kata dia.