Sektor Swasta Siap Mengakselerasi Transisi Energi Indonesia
Indonesia kembali menegaskan komitmenya kepada komunitas global untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Indonesia kembali menegaskan komitmenya kepada komunitas global untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060 pada gelaran Conference of Parties (COP) 26 di Glasgow.
Delegasi dari KADIN turut serta mendampingi Pemerintah Indonesia dalam kesempatan COP26 ini sebagai perwakilan sektor swasta nasional.
Terkait target Net Zero Emission, sektor ketenagalistrikan Indonesia mendapatkan sorotan yang cukup banyak dari beberapa perwakilan negara dan bisnis selama minggu pertama COP26.
"Sektor swasta siap berlari kencang untuk mendukung akselerasi transisi energi, apalagi transisi energi sudah menjadi agenda Pemerintah Indonesia dalam kerangka mitigasi emisi karbon," kata Muhammad Yusrizki sebagai Ketua Komite Tetap KADIN Bidang Energi Baru dan Terbarukan (EBT), Rabu (10/11/2021).
Yusrizki menjelaskan bahwa Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030 merupakan tonggak yang telah dinanti oleh sektor swasta yang bergerak di industri EBT karena memprioritaskan penambahan kapasitas dari pembangkit EBT.
Pemerintah Indonesia dengan Asian Development Bank (ADB) juga telah menyampaikan rencana kerja mereka melalui kerangka Energy Mechanism Transition untuk mematikan PLTU batu bara lebih cepat dari usia teknisnya.
"Sudah saatnya sektor-sektor pendukung lain, yang merupakan enabler dari sektor ketenagalistrikan turut mengambil bagian dalam agenda transisi energi. Sektor swasta yang bergerak di ketenagalistrikan telah lebih dulu memulai learning curve mereka, tetapi membutuhkan dukungan dari sektor-sektor lain untuk bisa menjalankan agenda transisi energi nasional," kata Yusrizki.
Lebih lanjut Yusrizki memberikan contoh sektor perbankan yang sudah harus berbenah dan mulai mengadopsi pola pandang yang lebih akomodatif terhadap transisi energi.
“Misalnya untuk PLTS Atap. Kementrian ESDM telah memulai dengan melakukan revisi atas peraturan ekspor-impor PLTS Atap on-grid untuk mendorong tumbuhnya PLTS Atap. Terkait dengan sektor jasa keuangan, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana mendukung regulasi PLTS Atap ini dengan produk dan layanan jasa keuangan? Saat ini orang yang tertarik memasang PLTS Atap dan melihat kredit dari perbankan hanya memiliki opsi Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang tentu saja bunga pinjamannya relatif tinggi. Padahal risiko operasional PLTS Atap, dengan pendekatan yang tepat, akan sangat rendah. Peralatan PLTS Atap dapat berfungsi minimal 10 tahun, tetapi kredit KTA biasanya memiliki jangka waktu 1 – 2 tahun. Disinilah terjadi mismatch antara pasokan jasa keuangan dengan permintaan jasa keuangan terkait EBT," jelas Yusrizki.
Baca juga: COP26: Tersisa Sedikit Waktu, Tapi Segunung Tantangan Atasi Krisis Iklim
Jasa keuangan global telah lama melakukan alignment terhadap sektor tenaga listrik EBT, tidak hanya dari sisi pembangkitan tetapi juga dari sisi transmisi dan distribusi.
"Banyak sekali varian produk jasa keuangan yang dirancang tepat guna untuk mendukung pengembangan EBT. Harus diakui, banyak pendanaan dari luar negeri yang menunggu tumbuhnya pasar EBT di Indonesia dan sangat disayangkan apabila perbankan nasional hanya bersifat pasif dan tidak mengembangkan skillset yang dibutuhkan untuk dapat melihat sektor ketenagalistrikan EBT sebagai portofolio investasi yang menjanjikan. Harap diingat bahwa gelombang transisi energi ini tidak hanya akan terjadi dalam dua, tiga atau lima tahun ke depan, tetapi hingga puluhan tahun. Sekarang saatnya yang tepat bagi perbankan untuk juga ikut serta berlari Bersama sektor swasta mendukung agenda transisi energi Pemerintah," kata Yusrizki
Terkait tata niaga ketenagalistrikan Indonesia dimana PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memiliki peran sentral, Yusrizki menanggapi beberapa diskusi yang sempat terjadi mengenai apkah diperlukan badan pengatur khusus bagi sektor EBT.
“KADIN melihat tidak perlu ide badan pengatur khusus, yang lebih penting adalah menguatkan peran serta PLN dalam konteks transisi energi Indonesia. Kami dari KADIN selalu membuka diri sebagai mitra diskusi PLN dan dalam setiap kesempatan kami selalu menyampaikan pentingnya inovasi dari proses procurement PLN, misalnya mengadopsi sistem reverse auction,” sambungnya.
"Banyak rekan-rekan pengembang EBT swasta lokal terbiasa dengan metode reverse auction, maka memang sudah saatnya PLN melihat dan mengadopsi metode ini untuk juga memberikan warna baru dalam akselerasi transisi energi," katanya.
Sementara mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) juga menjadi sorotan dalam beberapa sesi diskusi di minggu pertama COP26.
"Pada dasarnya KADIN mendukung TKDN sebagai komponen green industrial revolution di Indonesia. Tetapi sudah sepatutnya kita melihat potret realita yang ada. Selama ini rekan-rekan manufaktur EBT, misalnya manufaktur panel surya, tidak memiliki pasar yang cukup besar yang memungkinkan mereka melakukan ekspansi, baik dari sisi volume produksi maupun teknologi. Green RUPTL PLN inilah yang kami lihat sebagai titik berangkat yang baik bagi industri panel surya. Indonesia dapat mengadopsi model di India dimana dalam periode tertentu, pengembang dibebaskan untuk mengimpor hampir 100% dari komponen PLTS dengan syarat mereka memberikan komitmen untuk membangun fasilitas manufaktur di India. Jika komitmen ini tidak dipenuhi, maka dipastikan pengembang tersebut tidak diperbolehkan mengikuti proses tender berikutnya," kata Yusrizki.
Baca juga: Jokowi Ungkap Rencana Pengembangan Ekosistem Mobil Listrik di COP26, Honda Siap Dukung
Dalam pernyataan penutup, Yusrizki menjelaskan agenda transisi energi merupakan agenda nasional yang harus didukung oleh setiap sektor.
"Sektor ketenagalistrikan, jika dilihat sebagai sektor utama, pada dasarnya sudah siap berlari. Tentunya harus diiringi oleh sektor-sektor lain yang akan berperan sebagai enabler," ujarnya.