Komisi X DPR Kritik Kemendikbud Ristek Minim Libatkan Publik Dalam Pembuatan Aturan
Hal itulah yang membuat setiap peraturan yang diterbitkan Kemendikbud Ristek selalu menuai polemik di masyarakat.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pimpinan Komisi X DPR RI mengkritik Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), yang tak melibatkan banyak partisipasi publik saat menyusuan sebuat peraturan.
Hal itulah yang membuat setiap peraturan yang diterbitkan Kemendikbud Ristek selalu menuai polemik di masyarakat.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi PKS Abdul Fikri Faqih, dalam PKS Legislative Corner bertajuk 'Permendikbud Ristek No 30/2021', Jumat (12/11/2021).
"Kenapa kemudian ada resistensi? karena partisipasi publik yang minim, saya kira tidak hanya itu sebelumnya ini kata atau frasa yang hilang atau sensitif dan tidak dimunculkan sebagai representasi dari konstitusi dan budaya bangsa Indonesia," katanya.
Kekinian, Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menimbulkan pro kontra di masyarakat, lantaran berpotensi memfasilitasi perbuatan zina dan perilaku menyimpang, misalnya Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Baca juga: Menteri Nadiem Bantah Permendikbudristek untuk Legalkan Seks Bebas
Sebelumnya, juga ada Program Organisasi Penggerak (POP) yang didalamnya terdapat perusahaan besar, dalam program bantuan puluhan miliar yang ditujukan meningkatkan kualitas guru.
Fikri pun mengungkapkan, bahwa dirinya bersama Komisi X DPR dan para akademisi sudah sering mengingatkan agar sebisa mungkin melibatkan banyak pihak dalam penyusunan suatu peraturan.
"Ini beberapa kali tidak hanya sekali, sekarang ini ketika memunculkan program, ketika memunculkan regulasi tapi minim partisipasi publik," ujarnya.
Dalam Permendikbudristek tersebut tercantum frasa 'tanpa persetujuan korban' yang mengacu kepada definisi kekerasan seksual dalam pasal 5 pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf l, dan huruf m.
Menurut Fikri, dalam frasa 'tanpa persetujuan korban' terkandung makna persetujuan seksual atau sexual consent.
"Artinya hubungan seksual dibolehkan asal dilakukan atas dasar suka sama suka," ujarnya.
Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan norma hukum yang berlaku di Indonesia, di mana perzinahan dianggap sebagai perilaku asusila dan diancam pidana.
"Pasal 284 KUHP misalnya, mengancam hukuman penjara bagi yang melakukannya," tandasnya.