Depenas Beberkan Alasan Pemerintah Normalisasi Upah Minimum di Indonesia
Kebijakan pengupahan yang dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini dinilai bertujuan untuk normalisasi upah minimum (UM).
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan pengupahan yang dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini dinilai bertujuan untuk normalisasi upah minimum (UM).
Langkah ini perlu dilakukan agar UM berjalan sebagaimana fungsinya.
Hal tersebut dikatakan anggota Dewan Pengupahan Nasional (DEPENAS) dari unsur pakar, Ir. Joko Santosa, S.E.
“Jadi pemerintah sedang berusaha melakukan normalisasi agar upah minimum ini berjalan sesuai fungsinya, sebagai jaring pengaman atau safety net,” kata Joko Santosa.
Joko mengatakan, safety net yang tengah dibangun tidak hanya ditujukan bagi pekerja baru, yakni pekerja dengan masa kerja di bawah 12 bulan.
Namun lebih dari itu, safety net dalam UM yang diatur PP No.36 Tahun 2021 ini juga bertujuan untuk melindungi pekerja dengan masa kerja di atas 12 bulan dari jebakan upah murah.
Menurutnya, UM sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan adalah upah minimal yang seharusnya diberikan kepada pekerja baru atau masa kerja di bawah 12 bulan.
Namun pada kenyataannya, UM kerap menjadi upah efektif atau upah aktual.
Artinya, pekerja dengan masa kerja di atas 12 bulan juga diberikan upah sesuai UM sebagai akibat UM yg sudah terlampau tinggi.
Padahal menurut Joko, pekerja dengan masa kerja di atas 12 bulan seharusnya diberikan upah berdasarkan struktur dan skala upah dengan kenaikan upah berdasarkan kinerja pekerja dan produktivitas perusahaan.
Baca juga: Stafsus Menaker: Upah Minimum Buruh Indonesia Ketinggian, Tak Sebanding dengan Produktivitas
“Kalau jebakan upah murah terjadi yang dirugikan adalah pekerja dengan masa kerja di atas 12 bulan,” katanya.
UM dijadikan sebagai upah aktual, jelas Joko, di antaranya disebabkan oleh UM di Indonesia sudah berada di atas median upah atau nilai tengah sebaran upah.
Berdasarkan metode Kaitz index, metode yang membandingkan antara UM dengan median upah di suatu wilayah, didapati bahwa Kaitz Index Indonesia sudah di atas 1,1 (satu koma satu).
Padahal berdasarkan standar ILO, Kaitz Index seharusnya berada di antara 0,4 – 0,6.
“Nilai upah minimum Indonesia itu nilainya sudah di atas median upah. Itu kalau di seluruh dunia hanya terjadi di Indonesia,” jelas Joko Santosa.
Akibat dari tingginya Kaitz Index tersebut, kata Joko, ada 2 resiko yang dapat terjadi.
Pertama, pengusaha tidak akan membayar upah sesuai UM.
Kedua, pengusaha akan kesulitan untuk menaikkan upah bagi pekerja dengan masa kerja di atas 12 bulan.
“Berarti banyak pekerja yang masa kerjanya di atas 12 bulan ini akan dibayar dengan upah di sekitaran upah minimum atau sedikit di atas upah minimum. Inilah yang disebut sebagai jebakan upah murah. Untuk itu seluruh pihak harus fokus pada upah berbasis produktivitas, bukan lagi kepada upah minimum,” ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.