Dosen IPB: Bencana Hidrometeorologi Ekstrim Picu Gagal Panen Hingga Turunnya Tangkapan Ikan
Perubahan iklim telah memicu bencana hidrometeorologi ekstrim di sebagian besar wilayah Indonesia yang dapat memicu gagal panen hingga turunnya hasil
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perubahan iklim telah memicu bencana hidrometeorologi ekstrim di sebagian besar wilayah Indonesia yang dapat memicu gagal panen hingga turunnya hasil tangkapan ikan oleh nelayan.
Hal ini disampaikan Akhmad Faqih, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FMIPA IPB di diskusi terkait ancaman perubahan iklim yang diselenggarakan Partai Gelora pada Rabu (24/11/2021).
Ia berujar perubahan iklim telah mempengaruhi setiap wilayah berpenghuni di seluruh dunia, dengan pengaruh manusia berkontribusi pada banyak perubahan kejadian cuaca dan iklim ekstrem.
“Kalo bicara Indonesia, bencananya sebagian besar bencana hidrometeorologi yang merupakan turunan dari curah hujan, baik itu yang ekstrim basah atau kering,” kata Faqih.
Dosen IPB itu mengatakan berbicara perubahan iklim akan berkiblat dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
IPCC adalah lembaga yang melaporkan secara berkala perkembangan kondisi perubahan iklim lewat jurnal yang telah dikaji ribuan peneliti.
Berdasarkan kajian IPCC diawal tahun 2021, iklim dunia telah meningkat dimana manusia menjadi penyumbang kontribusi yang dominan dalam perubahan iklim.
Baca juga: Peringatan Dini BMKG Rabu, 24 November 2021: Waspada Siklon Tropis Paddy di Selatan Jateng
Faqih mengatakan, bicara pertanian banyak hal yang memicu terjadinya kejadian gagal panen, baik dari sisi banjir dan kekeringan.
Walaupun kalau dari kajian IPCC, secara regional di Asia Tenggara ada kecendrungan ada yang meningkat dan menurun.
Kalau melihat dari sejarah, bencana hidrometeorologi di Asia Tenggara disebabkan fenomena El Nino dan La Nina.
Misalnya dari faktor kekeringan dipengaruhi fenomena El Nino, dan ekstrim basah dipengaruhi La Nina seperti waktu belakangan.
Hal ini meningkatkan bencana hidrometeorologis di Indonesia.
“Kita mengalami kondisi La Nina tahun ini dan tahun lalu juga, yang itu cukup meningkatkan berbagai bencana hidrometeorologis yang ada di Indonesia. Banjir-banjir yang juga kita catat ada sebagian yang sebelumnya tidak ada,” ujarnya.
Faqih mengatakan, IPB pernah melakukan kajian terkait curah hujan di seluruh Indonesia.
Baca juga: Peringatan Dini Cuaca Ekstrem BMKG Kamis 25 November 2021: Waspada Jawa Tengah dan Bali Hujan Lebat
Untuk kejadian El Nino atau kekeringan misalnya, setiap tahun Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda.
Sebagian contoh El Nino pada rentang waktu tahun 1991-1994, saat itu merupakan El Nino yang cukup lama dengan kategori yang lemah dan paling berpengaruh pada curah hujan di bagian selatan Indonesia, termasuk Jawa.
“Saat itu kita mengalami penurunan produksi hasil padi karena kekeringan yang lama,” katanya.
Berbeda jika dibandingkan El Nino pada tahun 1997-1998.
Pada tahun 1997-1998, Indonesia mengalami El Nino yang cukup kuat karena berbarengan dengan fenomena di Samudra Hindia, tapi efeknya tidak berpengaruh signifikan pada pertanian.
“Efeknya pada pertanian tidak separah tahun 1991-1994, tapi kita mengalami kondisi yang lebih parah di sektor kehutanan karena kebakaran hutan,” ujarnya.
Saat ekstrim kering, tangkapan ikan menurutnya justru lebih banyak ketimbang saat ekstrim basah.
Ketika La Nina, karena ombak yang tinggi, nelayan lebih susah untuk melaut.
Faqih mengatakan setiap kejadian El Nino maupun La Nina memiliki karakteristik yang berbeda, tergantung bagaimana intensitasnya dan durasinya.
Dengan perubahan iklim, hal ini tentu menjadi ancaman yang semakin besar, baik itu di sektor pertanian maupun di sektor kelautan.
Pemanfaatan informasi ini bisa dimaksimalkan untuk memperkuat sektor yang satu dan lainnya, khususnya menjadi panduan bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam menghadapi perubahan iklim.