Soal UU Cipta Kerja, Pimpinan DPR: Jadi Pembelajaran Agar Tak Tergesa-gesa Buat Undang-undang
Wakil Ketua DPR RI Abdul Muhaimin Iskandar turut merespons terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja cacat secara formil
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Adi Suhendi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Abdul Muhaimin Iskandar turut merespons terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil.
Muhaimin menyebut, keputusan tersebut diharapkan menjadi sarana pembelajaran bagi pemerintah dalam memutuskan sebuah Undang-Undang agar melakukannya secara cermat.
"Ini menjadi pembelajaran kita semua agar dalam setiap membuat UU pemerintah tidak perlu tergesa-gesa harus betul-betul cermat," kata Muhaimin saat ditemui awak media di Gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Cikini, Jakarta Pusat, Senin (29/11/2021).
Lebih lanjut, politikus yang karib disapa Gus Muhaimin itu mengatakan, saat ini DPR RI masih menunggu revisi dari pemerintah terkait dengan Undang-Undang yang ditentang kaum buruh tersebut.
"Tentu DPR menunggu pemerintah untuk segera memasukkan perbaikan-perbaikan," ujarnya.
DPR dan Pemerintah Bakal Bahas Perbaikan UU Cipta Kerja 6 Desember 2021.
Baca juga: Pengamat Nilai Proses Pembuatan UU Cipta Kerja Sudah Buka Kesempatan untuk Publik
DPR RI bakal menggelar rapat kerja (raker) dengan pemerintah untuk membahas UU Cipta Kerja yang diputuskan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya menyebut, rapat tersebut akan mencermati pokok perbaikan sesuai perintah dari MK.
"Kita akan raker nanti bersama pemerintah tanggal 6 Desember untuk membahas beberapa pokok, menyimak, mencermati putusan MK itu," kata Willy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (26/11/2021).
Baca juga: Jokowi Tegaskan UU Cipta Kerja Masih Tetap Berlaku, Jamin Keamanan dan Kepastian Investasi
"Kan kita diberi waktu dua tahun untuk melakukan perbaikan-perbaikan, bisa melalui fungsi pengawasan dan lain sebagainya dan tentu kemudian kita akan rapat bersama dengan pemerintah di raker itu akan mungkin akan di-follow up dengan bentuk tim kerja bersama," lanjutnya.
Willy memastikan, DPR dan pemerintah tidak akan menyusun kebijakan strategis dalam aturan turunan UU Cipta Kerja usai putusan MK tersebut.
DPR, lanjut Willy, menjadikan hal itu sebagai catatan penting dalam menyusun sebuah undang-undang khususnya omnibus law.
"Kemudian tidak akan mengambil kebijakan-kebijakan turunan berupa PP yang strategis seperti amanat MK itu yang menjadi concern kita," ucapnya.
Baca juga: Jokowi Perintahkan Jajaran Menteri Revisi UU Cipta Kerja Secepatnya
"Jadi DPR tentu akan menjadikan ini catatan. Jadi teman-teman ini suatu hal yang wajar saja, kenapa? Karena ini pengalaman pertama kita dalam membuat UU berupa omnibus law," imbuhnya.
Lebih lanjut, Willy mengatakan dalam pembahasan perbaikan UU Cipta Kerja, DPR akan mengundang seluruh pihak.
Termasuk dari buruh, yang selama ini bertolak belakang dengan UU Cipta Kerja.
"Bukan hanya serikat buruh ya, tentu kami membuka diri seluas-luasnya dari masukan-masukan publik ya, salah satunya juga serikat terkait UMK, UMK, yang mereka bahas hari ini jadi tentu kami meminta input seluas-luasnya dari publik," katanya.
Larang Pemerintah Keluarkan Kebijakan Strategis
Mahkamah Konstitusi (MK) melarang pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bersifat strategis terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Larangan ini terkait putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat, dan harus dilakukan perbaikan dalam kurun waktu dua tahun sejak putusan diucapkan pada Kamis (25/11/2021)
"Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan demgan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan secara daring.
MK menilai dalam pertimbangannya metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi.
Dalam pembentukannya, Mahkamah juga menilai, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan kepada publik.
"Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, padahal berdasarkan pasal 96 ayat 4 UU 19 tahun 2011, akses terhadap UU diharuskan untuk memudahkan masyarakat memberikan masukan secara lisan atau tertulis," kata Hakim Mahkamah
Mahkamah menyatakan, UU Cipta Kerja inkostitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.
Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkostitusional bersyarat secara permanen.
Baca juga: Menko Airlangga: Pemerintah Hormati Putusan MK Tentang UU Cipta Kerja
Selain itu, Mahkamah juga menyatakan seluruh UU yang terdapat dalam UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan.
Dalam putusan ini, empat hakim MK menyatakan dissenting opinion. Keempatnya yaitu Anwar Usman, Daniel Yusmic, Arief Hidayat, dan Manahan M.P Sitompul.
Putusan MK ini merujuk pada uji formil yang diajukan oleh lima penggugat terdiri dari seorang karyawan swasta bernama Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, seorang pelajar bernama Novita Widyana, serta tiga orang mahasiswa, yakni Elin Diah Sulistiyowati, Alin Septiana, dan Ali Sujito. Adapun uji formil tersebut tercatat dalam 91/PUU-XVIII/2020.