Aliansi Akademisi Serukan Rakyat Indonesia Lancarkan Aksi Tuntut UU Cipta Kerja Dibatalkan Permanen
Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law menyerukan seluruh rakyat Indonesia melancarkan aksi-aksi menuntut agar Undang-Undang (UU) 11/2020 tentang Cipta
Penulis: Gita Irawan
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law menyerukan seluruh rakyat Indonesia melancarkan aksi-aksi menuntut agar Undang-Undang (UU) 11/2020 tentang Cipta Kerja dibatalkan secara permanen.
Selain itu Aliansi juga menyatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menyatakan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta seluruh aturan pelaksananya tetap berlaku dan dapat dijalankan.
Aliansi menyatakan sikap presiden jelas merupakan pembangkangan terhadap putusan MK yang dapat dikategorikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan.
Aliansi juga menolak pemberlakukan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta seluruh aturan pelaksananya sebagaimana yang disebutkan secara eksplisit baik dalam amar putusan MK maupun pertimbangan putusan MK.
Hal tersebut disampaikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah (Castro) yang menyampaikan pernyataan sikap Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law dalam acara Konsolidasi dan Diskusi Terbuka secara daring pada Jumat (3/12/2021).
"Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia dari berbagai sektor terutama yang telah menjadi korban dari omnibus law UU Cipta Kerja yang pro investasi untuk terus melancarkan aksi-aksi menuntut agar UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dibatalkan secara permanen," kata pria yang akrab disapa Castro tersebut.
Castro mengatakan Putusan MK nomor 91/2020 yang mengabulkan uji formil terhadap UU 11/2020 tentang Cipta Kerja memberikan penegasan tentang prosedur ugal-ugalan dalam pembentukan UU.
Baca juga: Menaker: Pengaturan Upah di UU Cipta Kerja Tidak Ada yang Dibatalkan MK
Pemerintah dan DPR, kata dia, telah melakukan penyimpangan terhadap tata cara pembentukan UU sebagaimana yang diatur dalam UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Menurut Aliansi, kata Castro, jalan pintas pembentukan UU (fast track legislation) yang menghalalkan segala cara tengah dipertontonkan hanya untuk memuaskan kepentingan investasi.
Ia mengatakan dikabulkannya uji formil ini ex oficio atau otomatis juga turut membatalkan substansi atau materi UU a quo secara keseluruhan.
"Ibarat salat jika wudhunya tidak benar maka batal pula salatnya. Maka tidak mengherankan jika MK pada akhirnya juga menolak keseluruhan uji materi a quo sesaat setelah uji formil UU dikabulkan," kata Castro.
Baca juga: Buruh Bekasi: UU Cipta Kerja Inkonstitusional, Tak Layak Jadi Acuan Penetapkan UMK
Castro melanjutkan Putusan MK nomor 91/2020 telah menyatakan UU 11/2020 inkonstitusional bersyarat.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah dan DPR harus tunduk terhadap seluruh putusan MK.
Namun anehnya, lanjut Castro, presiden justru memberikan tafsir berbeda terhadap amar putusan MK tersebut tanpa merujuk pada keseluruhan makna putusan MK sebelumnya khususnya yang berkaitan dengan frase "inkonstitusional bersyarat".
Bahkan, kata dia, presiden memberikan pernyataan jika UU 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta aturan turunannya tetap dapat dijalankan tanpa putusan MK tersebut.
Pernyataan presiden yang dapat ditonton melalui kanal Youtube resmi Sekretariat Negara, lanjut dia, tentu pernyataan yang cenderung menyesatkan publik yang mesti diluruskan.
Pernyataan tersebut, kata dia, seolah menjadi jaminan para investor dan kelompok oligarki yang berkepentingan terhadap UU a quo.
Baca juga: Jimly Asshiddiqie Sebut Pengabulan MK Atas Uji Formil Terhadap UU Cipta Kerja Sangat Bersejarah
Perihal penafsiran inkonstitusional bersyarat, kata dia, dijelaskan oleh MK sendiri dalam putusannya nomor 4 tahun 2009.
Dalam putusan a quo, lanjut dia, MK berpendapat bahwa inkonstitusional bersyarat adalah tidak konstituisonal sepanjang tidak dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh MK.
"Oleh karena itu dalam putusan 91/2020 yang memerintahkan melakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan adalah syarat mutlak agar UU 2020 tentang Cipta Kerja dapat dinyatakan konstitusional," kata dia.
Dengan demikian, lanjut dia, UU a quo adalah inkonstituisonal pada saat putusan dibacakan dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU.
Oleh karenanya, lanjutndia, berdasarkan putusan MK tersebut, maka keberlakukan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta seluruh aturan turunannya harus ditangguhkan sampai syarat konstitusionalitasnya terpenuhi.
Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara Nilai Presiden Tak Terlalu Mafhum Soal Uji Formil di MK Atas UU Cipta Kerja
Hal tersebut, kata dia, disebutkan secara eksplisit dalam amar putusan MK yang menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Makna strategis dan berdampak luas sendiri, kata dia, diuraikan secara eksplisit dalam ketentuan pasal 4 UU 11/2020 yang pada intinya mencakup 11 klaster yang diatur dalam UU a quo beserta aturan pelaksanaannya.
"Untuk itu keberlakun aturan pelaksana dari UU a quo juga harus ditangguhkan hingga dilakukan perbaikan dalam rentang waktu dua tahun ke depan," kata Castro.