Hadiri Acara PPP Ramah Difabel, Aktivis Difabel Surya Sahetapy Apresiasi Rumah Kerja PPP
Aktivis Difabel Surya Sahetapy mengapresiasi peremsmian Rumah Kerja PPP untuk kaum difabel atau penyandang disabilitas
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Aktivis Difabel Surya Sahetapy mengapresiasi peremsmian Rumah Kerja PPP untuk kaum difabel atau penyandang disabilitas. Menurutnya, penyandang difabel punya hak dan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa.
“Saya senang sekali terlibat dalam acara ini. Mudah-mudahan kita bisa kerjasama dan semoga Indonesia bisa ramah difabel,” ungkap Surya dalam acara diskusi “PPP Ramah Difabel” sekaligus peresmian Rumah Kerja Difabel, Sabtu (4/12/2021).
Menurutnya, sesorang disebut difabel bukan karena soal fisik semata, melainkan karena faktor lingkungan sosial yang tidak mengakomodir. Jika dilihat dari segi fisik, ia mengaku masih bisa melakukan pekerjaan seperti orang pada umumnya.
“Saya tuli, namun saya tidak merasa seperti orang tuli. Saya bisa menelpon orang, bisa ngobrol dengan orang,” katanya.
Surya mengaku saat ini dirinya sedang memperjuangkan bahasa isyarat untuk menjadi bahasa resmi di Indonesia atau minimal masuk dalam kurikulum sekolah. Sebab menurutnya, di beberapa negara bahasa isyarat sudah menjadi bahasa resmi Negara, salah satunya di Filipina.
“Bahasa isyarat ini harus ditunjukkan karena itu bagian dari edukasi, banyak sekali masyarakat bertambah untuk belajar bahasa isyarat di dunia, karena mereka sadar baahsa isyarat itu penting,” imbuhnya.
Pemateri lainnya, Peneliti Perludem Nur Amelia mengatakan, saatr ini regulasi perundang-undangan maupun peraturan sudah sangat kuat menjamin kesetaraan hak politik penyandang difabel.
“Teman-teman difabel bisa bereperan di pemerintahan, punya hak politik untuk memilih, dipilih atupun aspirasi politik sudah bisa tersalurkan, karena demokrasi adalah tentang kesetaraan,” tuturnya.
Kendati demikian, hak memilih dan dipilih penyandang difabel masih mengalami tantangan. Hal itu terlihat pada Pemilu 2019 dan dan pilkada. Amelia menilai pendataan pemilih penyandang difabel masih belum akurat.
“Hak pilih difabel mental dipertanyakan, dan tidak tersedia surat suara dengan huruf braile untuk pemilu Presiden, DPD dan Pilkada,” tuturnya.
Menurutnya, perlindungan hak politik penyandang difabel sangat diperlukan untuk menciptakan partisipasi demokrasi yang lebih luas.
“Oleh sebab itu, partai politik harus mengagregasi kepentingan mereka untuk agenda politik dan mengembangkan kebijakan program pemerintah,” tegasnya.(*)