Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komnas Perempuan: Kisah Tragis NWR Alarm Darurat Kekerasan Seksual, Sahkan RUU TPKS

Komnas Perempuan mendorong disahkannya rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (RUU TPKS).

Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Komnas Perempuan: Kisah Tragis NWR Alarm Darurat Kekerasan Seksual, Sahkan RUU TPKS
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Ilustrasi. Komnas Perempuan mendorong disahkannya rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (RUU TPKS). 

Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTAKomnas Perempuan mendorong disahkannya rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (RUU TPKS).

Komnas Perempuan menyatakan kisah tragis NWR merupakan alarm keras atas kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia yang membutuhkan tanggapan serius dari aparat penegak hukum, pemerintah, legislatif, dan masyarakat.

“Daya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sangat rapuh di tengah kondisi layanan yang sangat terbatas kapasitasnya menghadapi lonjakan pelaporan kekerasan seksual yang semakin tinggi dengan jenis kasus yang semakin kompleks,” tulis Komnas Perempuan dalam pernyataannya, Senin (6/12/2021).

Disebutkan, bahwa NWR adalah korban kekerasan yang bertumpuk dan berulang-ulang dalam durasi hampir dua tahun sejak 2019.

Ia terjebak dalam siklus kekerasan di dalam pacaran yang menyebabkannya terpapar pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi.

Baca juga: Pernyataan Komnas Perempuan Terkait Kasus Kekerasan Mahasiswi di Mojokerto, Desak RUU TPKS Disahkan

Saat menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, pacar NWR yang berprofesi sebagai anggota kepolisian memaksanya untuk menggugurkan kehamilan dengan berbagai cara.

BERITA TERKAIT

Di antaranya memaksa meminum pil KB, obat-obatan dan jamu-jamuan, bahkan pemaksaan hubungan seksual karena beranggapan akan dapat menggugurkan janin.

Peristiwa pemaksaan aborsi bahkan terjadi hingga dua kali.

Pada kali kedua bahkan korban sampai mengalami pendarahan, trombosit berkurang, dan jatuh sakit.

Kepada Komnas Perempuan, korban mengatakan pemaksaan aborsi oleh pelaku juga didukung keluarga pelaku yang awalnya menghalangi perkawinan pelaku dengan korban.

Baca juga: Propam Awasi Penanganan Kasus Bripda Randy Soal Kasus Mahasiswi Tenggak Racun di Mojokerto

Dengan alasan masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah dan kemudian bahkan menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi.

Pelaku juga diketahui memiliki hubungan dengan perempuan lain, namun pelaku bersikeras tidak mau memutuskan relasinya dengan korban.

Selain berdampak pada kesehatan fisik, korban juga mengalami gangguan kejiwaan yang hebat.

Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya.

Baca juga: Sosok Bripda Randy, Oknum Polisi yang Hamili Mahasiswi Mojokerto, Kini Jadi Tersangka dan Ditahan

“Menyegerakan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang meneguhkan komitmen negara dalam pelaksanaan tanggung jawab pemulihan korban, selain memutus impunitas, adalah langkah mendesak,” tulis pernyataan Komnas Perempuan.

Mengembangkan ekosistem dukungan bagi korban juga tidak lagi dapat ditunda: dari keluarga hingga bagi lembaga-lembaga yang menyelenggarakan layanan, mulai dari desa hingga nasional.

Komnas Perempuan menyatakan kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah jenis kasus kekerasan di ruang privat/personal yang ketiga terbanyak dilaporkan.

Pada kurun 2015-2020 tercatat 11.975 kasus yang dilaporkan oleh berbagai pengada layanan di hampir 34 Provinsi, sekitar 20% dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat.

Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata 150 kasus per tahun dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.

Kasus ini seringkali berakhir dengan kebuntuan diproses hukum.

Latar belakang relasi pacaran kerap menyebabkan peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban dianggap sebagai peristiwa suka sama suka.

Dalam konteks pemaksaan aborsi, justru korban yang dikriminalkan sementara pihak laki-laki lepas dari jeratan hukum.

“Dalam kasus NWR, korban telah berupaya meminta bantuan untuk menyikapi peristiwa kekerasan yang ia alami. Korban telah berkonsultasi dengan dua lembaga bantuan hukum di daerahnya yang menyarankan korban untuk segera melaporkan tindakan pelaku ke Propam. Juga, dengan mengadukan kasusnya kepada Komnas Perempuan di tengah Agustus 2021,” tulis pernyataan itu.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas