Kasus Guru Rudapaksa 12 Santriwati di Bandung, KSPPA PSI Sayangkan Pelaku Tak Didakwa Hukuman Kebiri
Komite Solidaritas Perlindungan Perempuan dan Anak (KSPPA) Partai Solidaritas Perlindungan menanggapi tindakan seorang guru meradupaksa 12 santriwati.
Penulis: Devi Rahma Syafira
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Komite Solidaritas Perlindungan Perempuan dan Anak (KSPPA) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menanggapi tindakan seorang oknum guru bernama Herry Wirawan yang merudapaksa 12 santriwati di Bandung, Jawa Barat.
Akibat tindakan oknum guru tersebut, sejumlah santriwati yang masih berusia di bawah umur dikabarkan hamil.
Bahkan 9 di antaranya telah melahirkan bayi.
Kasus ini mulai ramai di media setelah pengurus KSPPA, Mary Silvita menulis kasus rudapaksa ini di akun Instagram dan Facebooknya yang kemudian viral.
Dilansir Tribunnews.com, dalam temuan investigasi KSPPA PSI terdapat upaya menutup-nutupi kasus ini agar tidak sampai ke media.
"Kami mengutuk tindakan biadab Herry Wirawan yang memperkosa belasan santriwatinya yang berusia di bawah umur, selama 2 bulan KSPPA PSI mengadvokasi kasus ini,"
"Kami juga melakukan investigasi, hadir ke persidangan dan menemui korban dan keluarganya, kami terkejut karena sepertI ada upaya menutup-nutupi kasus ini, agar tidak 'meledak' di media," kata Pengurus KSPPA, Mary Silvita, Kamis (9/12/2021).
Baca juga: Soal Kasus Guru Pesantren di Bandung Rudapaksa 12 Santrinya, Ini Tanggapan Kemenag
Mary juga menyayangkan dakwaan Jaksa yang tidak mencantumkan Peraturan Pemerintah (PP) No 70 tahun 2020 tentang hukuman kebiri kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
"Kami menyayangkan Jaksa dalam dakwaannya tidak mencantumkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Kebiri Predator Seksual yang sudah ditandatangi oleh Presiden Joko Widodo tanggal 7 Desember 2020,"
Hukuman ini penting untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak," kata Mary.
Dalam dakwaannya, Jaksa mendakwa Herry Wirawan dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Jo Pasal 76D UU RI nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Jo Pasal 65 KUHP yang hukumannya maksimal 15 tahun penjara.
Menurut KSPPA PSI selain kebiri kimia, hukuman tersebut bisa ditambah dengan pemasangan "chip" untuk menditeksi predator seksual.
"Selain tindakan kebiri kimia, dalam PP tersebut juga diatur soal pemasangan alat pendeteksi elektronik dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak, jadi, jangan hanya sebut inisial pelaku (HW) tapi tulislah Herry Wirawan," ujarnya.
Kasus Rudapaksa
Diketahui, sebanyak 12 santri perempuan menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan Herry Wirawan alias HW, guru Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru.
Pelaku melakukan aksi bejatnya sejak tahun 2016 hingga 2021.
Pelaku memaksa korban melayani nafsunya dengan memberikan beragam janji.
Korban diiming-imingi menjadi polisi wanita hingga dibiayai kuliah.
Pelaku juga menjanjikan korban akan menjadi pengurus pesantren jika mereka memenuhi hawa nafsunya.
Janji-janji tersebut terdapat dalam surat dakwaan dan diuraikan dalam poin-poin penjelasan korban.
"Terdakwa menjanjikan akan menjadikan korban polisi wanita, ia juga menjanjikan akan membiayai kuliah dan mengurus pesantren," ujar jaksa dalam surat dakwaan yang diterima wartawan Tribunnews, Rabu (8/12/2021).
Selain itu, pelaku mengatakan kepada korban untuk tidak khawatir dan akan bertanggung jawab kepada para korban yang hamil.
Trauma Korban yang Mendalam
Dilansir TribunJabar.id, korban rudapaksa santriwati mengalami trauma mendalam akibat perbuatan 'bejat' Herry Wiryawan.
Plt Aspidum Kejati Jawa Barat, Riyono mengatakan, Herry Wiryawan sudah duduk menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Bandung.
Dirinya mengungkap reaksi korban saat dihadirkan dalam sidang.
"Waktu diperdengarkan suara terdakwa (Herry Wiryawan) melalui speaker, ada korban yang langsung tutup telinga dan menjerit histeris, mungkin karena trauma dan teringat apa yang pernah terjadi," ujar Riyono saat dihubungi pada Kamis (9/12/2021).
Riyono mengatakan, sidang tersebut, masih mengagendakan keterangan dari para saksi.
Beberapa hari lalu pun, sejumlah saksi korban juga dihadirkan untuk untuk memberikan keterangan di pengadilan.
Sedangkan, persidangan terhadap terdakwa dilakukan melalui virtual, sebab kini terdakwa kini tengah mendekam di Rutan Bandung.
Ia menceritakan suasana persidangan yang digelar secara tertutup itu, ada saksi korban yang datang memberi keterangan, padahal baru sekitar tiga minggu lalu usai melahirkan anak ulah perkosaan yang dilakukan Herry.
Bahkan, korban tersebut, mengalami penurunan kesehatan karena trauma yang dialami.
"Korban ini ada yang baru melahirkan tiga minggu ya, dalam keadaan lunglai, tapi masih berani menghadap ke persidangan dengan pendamping LPSK. Itu miris hati kami, karena sama-sama punya anak perempuan," ucapnya.
Selain itu, para orangtua korban yang turut mengawal jalannya persidangan pun tidak kuasa menumpahkan kekesalannya atas perlakuan terdakwa kepada anak-anaknya.
"Waktu sidang, para orangtua korban juga menuangkan kekesalannya seperti apa. Tapi kami menyampaikan bahwa, perkara ini sudah dan sedang berjalan proses hukum. Jadi tidak ada yang bisa di berbuat selain mengikuti proses hukum saja," ujarnya.
(Tribunnews.com/Devi Rahma/Vincentius Jyestha Candraditya/Cipta Permana).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.