Soal Kasus Guru Pesantren di Bandung Rudapaksa 12 Santrinya, Ini Tanggapan Kemenag
Kementerian Agama (Kemenag) angkat bicara soal kasus guru pesantren di Bandung merudapaksa 12 santriwatinya.
Penulis: Shella Latifa A
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Kasus seorang guru pesantren merudapaksa 12 santriwatinya sendiri di Bandung, Jawa Barat mendapat sorotan publik.
Diketahui, pelaku adalah seorang ustaz di Pondok Pesantren di Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat bernama Herry Wirawan (36).
Pelaku melakukan aksinya itu sejak tahun 2016 hingga 2019.
Bahkan, dari 12 santri yang menjadi korban, 4 di antaranya sudah melahirkan 8 bayi.
Baca juga: Forum Pondok Pesantren Tegaskan Herry Wirawan Bukan Pengurus atau Mantan Pengurus
Proses hukum dari kasus ini pun sedang berjalan.
Mengenai kasus ini, pihak Kementerian Agama (Kemenag) pun angkat bicara.
Plt Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag Thobib Al-Asyhar menyebut kasus rudapaksa yang dilakukan oknum guru pesantren ini mencuat sejak 6 bulan yang lalu.
Ketika kasus mencuat, kata Thobib, beberapa langkah hukum telah dilakukan untuk menindak tegas pelaku.
Pertama, Polda Jabar telah menutup kegiatan belajar di institusi pendidikan tersebut.
Baca juga: Guru Pesantren Rudapaksa 12 Santriwati, Ridwan Kamil Minta Kapolda Beri Hukuman Berat untuk Pelaku
Seiring dengan itu, Kemenag juga ikut mengawal kasus bersama Polda Jabar dan Dinas Perlindungan Anak dan Ibu (KPAI) Jawa Barat.
"Sejak kejadian tersebut, lembaga Pendidikan tersebut ditutup. Oknum pimpinan yang diduga pelaku tindak pemerkosaan juga telah ditahan di Polda Jabar untuk menjalani proses hukum."
"Sampai sekarang tidak difungsikan sebagai tempat atau sarana pendidikan,” kata Thobib, dikutip dari laman pers Kemenag, Rabu (8/12/2021).
Kemudian, Kemenag juga mengembalikan seluruh santri ke daerah asal mereka.
Baca juga: Fakta-fakta Guru Pesantren di Bandung Rudapaksa 12 Santriwati, Korban Trauma hingga Ancaman Hukuman
Thobib menuturkan, jenjang pendidikan seluruh santri dilanjutkan ke madrasah atau sekolah sesuai jenjangnya yang ada di daerahnya.
Tentunya, hal tersebut juga difasilitasi oleh Kasi Pontren dan Forum Komunikasi Pendidikan Kesetaraan (FKPPS) Kabupaten/Kota setempat.
Selain itu, Kemenag juga terus berkoordinasi dengan Polda dan Dinas Perlindungan Ibu dan Anak.
Khususnya, terkait penyelesaian perpindahan dan ijazah para peserta didik di pondok pesantren itu.
“Sebagai catatan tambahan, Kementerian Agama telah menjalin kerja sama dengan Kementerian PPPA dan UNICEF terkait dengan pesantren ramah anak, di mana pesantren menjadi tempat yang nyaman bagi santri-santrinya,” pungkasnya.
Diketahui, oknum guru pesantren itu melakukan aksi bejatnya tidak hanya di satu tempat.
Hal tersebut diungkapkan Kasipenkum Kejaksaan Tinggi Jabar, Dodi Gazali Emil.
"Perbuatan terdakwa Herry Wirawan dilakukan di berbagai tempat," ujarnya saat dihubungi TribunJabar.id, Rabu (8/12/2021).
Dalam berita acara yang didapatkan wartawan TribunJabar, pelaku melakukan aksi bejatnya mulai dari di Yayasan KS, Yayasan Pesantren TM, Pesantren MH, basecamp terdakwa, apartemen TS, dan beberapa hotel di Kota Bandung.
Dari perbuatan keji pelaku, 4 dari 12 korban hamil hingga melahirkan 8 bayi.
Kini, bertambah satu bayi ketika dalam proses pengadilan.
Janji Pelaku kepada Korban
Sementara itu, para korban dipaksa melayani nafsu ustaz itu diiming-imingi beragam janji.
Herry yang mengajar di beberapa pesantren dan pondok tersebut mengiming-imingi korbannya menjadi polisi wanita.
Iming-iming tersebut tercantum juga dalam surat dakwaan dan diuraikan dalam poin-poin penjelasan korban.
"Terdakwa menjanjikan akan menjadikan korban polisi wanita," ujar jaksa dalam surat dakwaan yang diterima wartawan, Rabu.
Selain menjadi polisi wanita, pelaku menjanjikan kepada korbannya untuk menjadi pengurus pesantren.
Herry juga menjanjikan kepada korban akan dibiayai kuliah.
Korban Alami Trauma Berat
Diberitakan TribunJabar.id, para korban yang dirudapaksa oleh Herry harus mendapatkan trauma berat.
Bahkan, ketika nama perudapaksa diucapkan pada sidang, para korban sampai menutup telinga tidak mau mendengar namanya.
"Waktu didengarkan (nama korban) melalui speaker, si korban itu langsung tutup telinga,” ujar Jaksa Kejari Bandung, Agus Mudjoko di kantor Kejari Bandung, Rabu.
Ia menambahkan, para orang tua korban sangat kesal dengan kejadian tersebut dan menuangkan kekesalannya kepada pelaku.
Namun, Agus mengingatkan para orang tua korban untuk tetap mematuhi hukum yang berlaku, karena sudah dalam proses hukum.
(Tribunnews.com/Shella Latifa/Nuryanti))TribunJabar.id/Fakhri Fadlurrohman/Muhamad Syarif Abdussalam)