Fenomena Astronomi Pekan ke-2 Desember: Puncak Hujan Meteor Monocerotid dapat Disaksikan Malam Ini
Fenomena Astronomi Pekan ke-2 Desember: Puncak Hujan Meteor Monocerotid dapat disaksikan malam ini mulai pukul 19.40 hingga fajar dari Timur ke Barat.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) merilis fenomena astronomi yang terjadi pada pekan kedua Desember 2021.
Ada enam fenomena yang dapat disaksikan selama pekan kedua.
LAPAN menjelaskan rincian setiap fenomena melalui unggahan akun Instagram @lapan_ri pada Kamis (9/12/2021).
Fenomena astronomi pekan kedua ini tergabung dalam Kalender Astronomi Desember 2021.
Baca juga: Bisa Disaksikan di Langit Indonesia, Fenomena Hujan Meteor yang Terjadi Dalam Beberapa Hari Ini
Berikut ini informasi selengkapnya dari laman LAPAN.
Fenomena Astronomi Pekan Kedua Desember 2021
1. Puncak Hujan Meteor Monocerotid (9-10 Desember)
Monocerotid adalah hujan meteor minor yang titik radiannya (titik asal kemunculan meteor) berada di dekat konstelasi Monoceros, berbatasan dengan konstelasi Orion dan Gemini.
Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu asteroid 2004 TG10 yang mengorbit Matahari dengan periode 3,34 tahun dan juga menjadi sumber bagi hujan meteor Taurid Utara.
Hujan meteor Monocerotid dapat disaksikan sejak pukul 19.40 waktu setempat hingga keesokan harinya saat akhir fajar bahari (25 menit sebelum terbenam Matahari) dari arah Timur hingga Barat.
Intensitas hujan meteor Monocerotid di Indonesia mencapai 1,9-2 meteor/jam (Sabang hingga P. Rote).
Hal ini karena titik radian berkulminasi pada ketinggian 71°-88° pada arah utara, sementara intensitas hujan meteor saat di zenit sebesar 2 meteor/jam.
Fenomena ini dapat disaksikan jika cuaca cerah dan bebas dari penghalang maupun polusi cahaya di sekitar medan pandang.
Hal ini dikarenakan intensitas hujan meteor ini berbanding lurus dengan 100% minus persentase tutupan awan dan berbanding terbalik dengan skala Bortle.
Skala Bortle adalah skala yang menunjukkan tingkat polusi cahaya.
Semakin besar skalanya, maka semakin besar polusi cahaya yang timbul.
2. Puncak Hujan Meteor Chi-Orionid (10-11 Desember)
Chi-Orionid adalah hujan meteor minor yang titik radiannya (titik asal kemunculan meteor) berada di dekat bintang Chi-Orionis konstelasi Orion.
Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu asteroid 2004 TG10 yang mengorbit Matahari dengan periode 3,35 tahun.
Hujan meteor Chi-Orionid dapat disaksikan sejak awal senja astronomis (50 menit setelah terbenam Matahari) waktu setempat hingga keesokan harinya saat akhir fajar bahari (25 menit sebelum terbenam Matahari) dari arah Timur hingga Barat.
Intensitas hujan meteor ini untuk Indonesia mencapai 2,5-2,9 meteor/jam (Sabang hingga P. Rote).
Hal ini karena titik radiannya berkulminasi pada ketinggian 59°-76° di arah utara, sementara intensitas hujan meteor saat di zenit sebesar 3 meteor/jam.
Fenomena ini dapat disaksikan jika cuaca cerah dan bebas dari penghalang maupun polusi cahaya di sekitar medan pandang.
Hal ini dikarenakan intensitas hujan meteor ini berbanding lurus dengan 100% minus persentase tutupan awan dan berbanding terbalik dengan skala Bortle.
Skala Bortle adalah skala yang menunjukkan tingkat polusi cahaya.
Semakin besar skalanya, maka semakin besar polusi cahaya yang timbul.
Intensitas hujan meteor ini diperkirakan sedikit berkurang, karena Bulan akan berada di sekitar zenit saat titik radian sedang terbit.
Baca juga: Kaleidoskop 2021 - Fenomena Astronomi: Gerhana Bulan Total, Hujan Meteor Orionid, Nadir Kabah
3. Fase Bulan Perbani Awal (11 Desember)
Fase perbani awal adalah salah satu fase Bulan ketika konfigurasi antara Matahari, Bumi dan Bulan membentuk sudut siku-siku (90°) dan terjadi sebelum fase Bulan purnama.
Puncak fase perbani awal terjadi pada pukul 08.35.33 WIB / 09.35.33 WITA / 10.35.33 WIT.
Sehingga, Bulan perbani awal ini sudah dapat disaksikan sejak terbit saat tengah hari dari arah Timur, berkulminasi di zenit (untuk lintang 6°-7°LS) setelah terbenam Matahari dan kemudian terbenam di arah Barat setelah tengah malam.
Bulan berjarak 386.568 km dari Bumi saat puncak fase perbani awal dan berada di sekitar konstelasi Akuarius.
4. Komet C/2021 A1 (Leonard) Melintas Dekat Bumi (12 Desember)
Komet C/2021 A1 Leonard adalah komet berperiode panjang yang ditemukan oleh G.J. Leonard di Observatorium Mount Lemmon pada 3 Januari 2021.
Periode orbit komet ini mencapai 80.000 tahun dengan kemiringan orbit 132,68° atau bergerak secara retrograd.
Komet Komet C/2021 A1 Leonard akan melintas dekat Bumi pada 12 Desember 2021 dengan jarak terdekatnya dari Bumi sejauh 0,233 satuan astronomi (sa) atau 34.857.000 km.
Saat melintas dekat Bumi, magnitudo komet Leonard mencapai +1,2 yang menandakan bahwa komet ini dapat disaksikan tanpa menggunakan alat bantu optik.
Sayangnya, komet ini hanya dapat disaksikan oleh wilayah pada lintang 29°LU atau lebih tinggi dari arah timur dekat konstelasi Ofiukus.
Komet ini tidak dapat disaksikan di lintang rendah dan belahan selatan, termasuk Indonesia.
Komet Komet C/2021 A1 Leonard akan mencapai perihelion pada 3 Januari 2022 dengan jarak 0,615 sa atau 92 juta km dari Matahari dengan magnitudo +5,8.
Hal tersebut menandakan komet ini hanya dapat disaksikan tanpa menggunakan alat bantu optik jika cuaca benar-benar cerah.
Baca juga: Badan Antariksa Eropa Umumkan Misi Baru untuk Temukan Planet Mirip Bumi
5. Puncak Hujan Meteor Sigma-Hydrid (12-13 Desember)
Sigma-Hydrid adalah hujan meteor minor yang titik radiannya (titik asal kemunculan meteor) berada di dekat bintang Sigma Hydrae konstelasi Hydra yang berbatasan dengan konstelasi Monoceros.
Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu benda langit yang tidak diketahui dan pertama kali diamati oleh Richard E. McCrosky dan Annette Posen.
Hujan meteor Sigma-Hydrid dapat disaksikan sejak pukul 21.15 waktu setempat hingga keesokan harinya saat akhir fajar bahari (25 menit sebelum terbenam Matahari) dari arah Timur hingga Barat.
Intensitas hujan meteor ini untuk Indonesia berkisar 2,9-3 meteor/jam (Sabang hingga P. Rote).
Hal ini karena titik radian berkulminasi pada ketinggian 77°-90° arah utara dan 86°-90° arah selatan, sedangkan intensitas hujan meteor saat di zenit sebesar 3 meteor/jam.
Fenomena ini dapat disaksikan jika cuaca cerah dan bebas dari penghalang maupun polusi cahaya di sekitar medan pandang.
Hal ini dikarenakan intensitas hujan meteor ini berbanding lurus dengan 100% minus persentase tutupan awan dan berbanding terbalik dengan skala Bortle.
Skala Bortle adalah skala yang menunjukkan tingkat polusi cahaya.
Semakin besar skalanya, maka semakin besar polusi cahaya yang timbul.
6. Puncak Hujan Meteor Geminid (14-15 Desember)
Geminid adalah hujan meteor utama yang titik radiannya (titik asal kemunculan meteor) berada di dekat bintang Alfa Geminorum (Castor) konstelasi Gemini.
Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu asteroid 3200 Phaethon (1983 TB) yang mengorbit Matahari yang mengorbit Matahari dengan periode 523,6 hari.
Hujan meteor Geminid dapat disaksikan sejak pukul 20.30 waktu setempat hingga keesokan harinya saat akhir fajar bahari (25 menit sebelum terbenam Matahari) dari arah Timur Laut hingga Barat Laut.
Intensitas hujan meteor ini untuk Indonesia berkisar 86 meteor/jam (Sabang) hingga 107 meteor/jam (P. Rote).
Hal ini dikarenakan titik radian berkulminasi pada ketinggian 46°-63° arah utara, sedangkan intensitas hujan meteor saat di zenit sebesar 120 meteor/jam.
Pastikan cuaca cerah dan bebas dari penghalang maupun polusi cahaya di sekitar medan pandang.
Hal ini dikarenakan intensitas hujan meteor ini berbanding lurus dengan 100% minus persentase tutupan awan dan berbanding terbalik dengan skala Bortle.
Skala Bortle adalah skala yang menunjukkan tingkat polusi cahaya.
Semakin besar skalanya, maka semakin besar polusi cahaya yang timbul.
Intensitas hujan meteor ini diperkirakan sedikit berkurang, karena Bulan akan berada di sekitar zenit saat titik radian sedang terbit.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Fenomena Astronomis