Ormas Ahlul Bait Indonesia Bantah Isu Herry Wirawan Penganut Mazhab Syiah
ABI pun mengimbau agar semua pihak agar lebih bijak dalam mengambil dan membagikan informasi.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Organisasi Masyarakat Ahlulbait Indonesia (ABI) memberikan klarifikasi terhadap adanya tudingan yang menyebut bahwa Herry Wirawan, ustaz yang mencabuli belasan santriwati, penganut mazhab Syiah.
Melalui laman resminya, ABI menyatakan bahwa informasi tersebut tidaklah benar.
ABI diketahui sebagai ormas penganut mazhab syiah di Indonesia.
"Sebagai salah satu wadah komunitas muslim Syiah di Indonesia, ABI sangat menyesalkan tersiarnya kabar yang menyesatkan dan tendensius itu, tanpa lebih dulu melakukan klarifikasi atau tabayyun sebelum membagikan isu yang diperoleh dari media sosial tersebut," demikian bunyi siaran pers, dikutip dari laman resmi ABI pada Jumat (10/12/2021).
ABI menyebut, informasi tersebut adalah fitnah yang mencemarkan ajaran Syiah.
Baca juga: Jaksa Pertimbangkan Hukuman Kebiri kepada Guru Herry hingga Sosok Pelaku yang Pendiam
"Jika terus dibiarkan, dikuatirkan modus pemelintiran informasi ini akan merusak kerukunan antar penganut agama dan penganut mazhab di Indonesia, yang pada gilirannya mengancam persaudaraan dan persatuan rakyat Indonesia.
ABI pun mengimbau agar semua pihak agar lebih bijak dalam mengambil dan membagikan informasi.
"Kami juga sedang mempertimbangkan untuk menempuh langkah-langkah yang diperlukan terhadap pihak-pihak yang menyebarkan isu-isu menyesatkan tentang muslim dan ajaran keislaman Syiah di media sosial maupun terhadap media massa online sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku," tulisnya.
Kelakuan Guru Rudapaksa Santri
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI Livia Istania DF Iskandar ungkap sejumlah fakta baru tentang Herry Wirawan, pelaku rudapaksa santri di Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan fakta di persidangan, terungkap bahwa para santri yang menjadi korban rudapaksa itu pernah diminta menjadi kuli untuk membangun gedung pesantren di daerah Cibiru.
Selain dirampas waktu belajarnya karena harus menjadi kuli, dana bantuan pendidikan para santri yang diberikan pemerintah pun juga dirampas pelaku.
Bahkan, bayi-bayi yang dilahirkan para korban rudapaksa itu juga ikut dieksploitasi oleh pelaku.
Mereka diakui sebagai anak yatim piatu demi dijadikan alat untuk meminta dana bantuan ke sejumlah pihak.