Guru Besar UIN Jakarta: Gus Yahya Mampu Tawarkan Konsep Perdamaian Model NU di Dunia Internasional
Gagasan perdamaian itu diwujudkan melalui konsensus Islam ‘Rahmatan Lil Alamin’ untuk menciptakan tatanan dunia yang penuh dengan kedamaian.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNWS.COM, JAKARTA - KH. Yahya Cholil Staquf atau yang dikenal dengan sapaan Gus Yahya menawarkan konsep perdamaian model NU lewat gerakan Islam ‘Washatiyah’ atau Islam Moderat dalam kerangka menuju peradaban dunia yang lebih Baik dan Bermartabat
Gagasan perdamaian itu diwujudkan melalui konsensus Islam ‘Rahmatan Lil Alamin’ untuk menciptakan tatanan dunia yang penuh dengan kedamaian.
Menanggapi pernyataan Gus Yahya itu, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Media Zainul Bahri mengatakan konsep perdamaian model NU lewat gerakan Islam ‘Washatiyah’ atau Islam Moderat dalam narasi ‘Rahmatan Lil Alamin’ yang ditawarkan oleh Gus Yahya kepada dunia internasional sudah tepat.
“Kalau pada level dunia menurut saya kata kuncinya “Rahmatan Lil Alamin” itu maksudnya adalah Kosmopolitanisme Islam, kalau pada level nasional misalnya mungkin itu yang disebut Islam Indonesia atau Islam Nusantara, di mana nilai-nilai atau perangkat nilai-nilai Islam itu compatible dengan budaya adat istiadat dan kehidupan sehari-hari umat Islam yang manfaatnya bisa dirasakan oleh non-muslim," kata Zainul dalam keterangannya, Kamis (16/12/2021).
Baca juga: PWNU Papua Nilai Habib Luthfi bin Yahya Layak Pimpin Rois Aam PBNU Mendatang
Menurut Zainul, NU memiliki sosok potensial seperti Gus Yahya yang diharapkan melanjutkan perjuangan Gus Dur sebagai perwakilan tokoh Muslim Indonesia pada level dunia untuk menawarkan konsep perdamaian model NU di dunia internasional.
“Saya kira di NU ini yang diharapkan adalah Yahya Staquf karena gak ada lagi sekarang siapa yang diharapkan, tokoh muslim Indonesia pada level dunia dalam melanjutkan perjuangan Gus Dur dulu di Israel, Amerika mengkampanyekan perdamaian dunia gitu," ucapnya.
Menurutnya, model perdamaian global ala NU yang ditawarkan Gus Yahya akan mudah diterima oleh dunia.
Pertama, dilihat dari segi spirit dan nilai-nilai yang jadi fondasi model itu bersifat universal yakni berbasis pada nilai Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”.
Kedua, sosok Gus Yahya sendiri yang memiliki reputasi tidak hanya tingkat nasional tapi internasional dalam mengadvokasi perdamaian dunia.
Meski pada implementasinya tidak mudah dan butuh kesepakatan bersama dunia internasional, namun upaya yang dilakukan oleh Gus Yahya telah mendapatkan apresiasi pemimpin global.
“Yang itu kemudian ternyata diakui juga oleh elite di Amerika, itu implementasi dari Rahmatan Lil Alamin yang luar biasa menurut saya," ujarnya.
Zainul berpendapat, dewasa ini gagasan Gus Yahya banyak didengar oleh mayoritas kalangan anak muda muslim di Indonesia, terutama generasi muda Nahdliyyin, meskipun kurang mendapat tempat bagi kelompok konservatif.
“Kalau kelompok-kelompok konservatif ya gak mau dengar Yahya Staquf, tapi saya melihat komunitas anak-anak muslim dan anak-anak muda Nahdliyyin ya mereka mau mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Yahya Staquf,” jelasnya.
Di satu sisi, kata Zainul apa yang dilakukan oleh Gus Yahya ini melanjutkan perjuangan almarhum Gus Dur dahulu, dan Ia berharap ketokohan Gus Yahya di Indonesia dapat memberikan kontribusi yang nyata pada level dunia.
“Saya merasa bahwa ini adalah melanjutkan perjuangan Gus Dur dulu di Israel, Amerika dan lain-lain mengkampanyekan perdamaian dunia. Saya kira di NU ini yang diharapkan adalah ketokohan Yahya Staquf sebagai tokoh muslim Indonesia yang memiliki kapasitas dan dapat berperan dalam perdamaian dunia,” ucapnya.
Sebelumnya, Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menawarkan strategi perdamaian global model NU pada acara International Conference On Islam and Human Rights (ICIHR).
Menurutnya, konsensus Islam melalui spirit Islam Rahmatan Lil Alamin yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan kuat serta universal, sehingga efektif dan kontributif dalam penciptaan perdamaian dunia.
"Dunia bisa memilih gagasan Rahmatan Lil Alamin ini. Jika jalan ini menjadi konsensus sosial dan aspirasi fundamental dari seluruh masyarakat, maka ini bisa menjadi penentu setiap pemerintah atau negara dalam pergaulan di internasional,” kata Gus Yahya yang dikutip dari pernyataannya dalam acara International Conference On Islam and Human Rights (ICIHR) 2021 di kanal Youtube Kementerian Agama, Kamis (16/12/2021).
Gus Yahya menuturkan sebelum mewujudkan kedamaian secara global, perlu usaha untuk mengidentifikasi terlebih dahulu nilai-nilai dasar yang menjadi kesepakatan bersama.
“Kesamaan tujuan kolektif itu hanya bisa terbentuk jika setiap orang memiliki kesadaran untuk saling menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sifat hak asasi ini sangat lah global. Sehingga bisa menembus berbagai latar belakang, kewilayahan hingga kepentingan," katanya.
Gus yahya yang juga Dzuriyah kiai besar, yakni cucu KH Bisri Mustofa dan putra KH Cholil Bisri ini menyampaikan melalui NU, ia tak henti mengampanyekan nilai-nilai hak asasi manusia yang sangat universal itu baik di level masyarakat bawah hingga dunia internasional.
"Model perdamaian Islam Rahmatan Lil Alamin yang diusung NU terbukti sangat relevan untuk membangun konsensus sosial di berbagai wilayah. Saya selalu berupaya mengajak atau memperkuat gerakan perdamaian di tingkat akar rumput hingga membentuk konsensus sosial. Saya yakin itu bisa karena semua orang mau hidup dalam perdamaian,” ulas Gus Yahya yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Gus yahya yang juga calon Ketua Umum PBNU itu menjelaskan, NU memiliki komitmen besar untuk membangun perdamaian lewat gerakan Islam ‘washatiyah’ atau moderat dalam kerangka menuju peradaban dunia yang lebih baik dan bermartabat.
Selain itu, Gus Yahya menyampaikan dunia harus membangun konsensus atas nilai-nilai yang perlu disepakati bersama agar semua pihak yang berbeda-beda pandangan dapat hidup rukun dan damai berdampingan.
“Dengan pendekatan ini maka adanya perbedaan-perbedaan keyakinan mengenai nilai-nilai yang tersisa harus disikapi dengan toleran," pungkas Gus Yahya.