KPK Tambah Masa Penahanan 2 Tersangka Kasus Korupsi di PG Djatiroto PTPN XI
KPK menambah masa penahanan dua tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan dan pemasangan mesin penggilingan tebu di Pabrik Gula Djatiroto.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah masa penahanan dua tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan dan pemasangan mesin penggilingan tebu (six roll mill) di Pabrik Gula Djatiroto PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI periode tahun 2015-2016.
Dua tersangka ini yaitu Direktur Produksi PTPN XI tahun 2015-2016 Budi Adi Prabowo (BAP) dan Direktur PT Wahyu Daya Mandiri (WDM) Arif Hendrawan (AH).
"Tim penyidik memperpanjang masa penahanan tersangka BAP dan tersangka AH untuk masing-masing selama 40 hari terhitung mulai 15 Desember 2021 sampai dengan 23 Januari 2022," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (16/12/2021).
Baca juga: KPK Sebut Berkas Perkara Penyuap Bupati Muba Dodi Reza Alex Noerdin Lengkap
Tersangka Budi saat ini ditahan di Rutan KPK pada Gedung Merah Putih KPK, Jakarta dan tersangka Arif ditahan di Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur, Jakarta.
Ali mengatakan pengumpulan bukti oleh tim penyidik masih terus berlanjut dengan memanggil saksi-saksi yang terkait dengan kasus tersebut.
"Agenda pengumpulan alat bukti dan pemberkasan perkara tersangka oleh tim penyidik masih terus berlanjut dengan memanggil saksi-saksi yang terkait dengan perkara ini," katanya.
Baca juga: Kadis PU Banjar Diselisik KPK Soal Aliran Uang Pengerjaan Proyek di Dinas PUPR
KPK telah menetapkan Direktur Produksi PTPN XI tahun 2015-2016 Budi Adi Prabowo (BAP) dan Direktur PT Wahyu Daya Mandiri (WDM) Arif Hendrawan (AH) sebagai tersangka dalam kasus ini.
Dalam konstruksi perkara, Budi selaku Direktur PTPN XI periode tahun 2015-2016 yang telah mengenal baik Arif selaku Direktur PT Wahyu Daya Mandiri, melakukan beberapa kali pertemuan di tahun 2015, yang di antaranya menyepakati bahwa pelaksana pemasangan mesin giling di PG Djatiroto adalah Arif walaupun proses lelang belum dimulai sama sekali.
Sebelum proses lelang dimulai, Budi dengan beberapa staf PTPN XI dan Arif melakukan studi banding ke salah satu pabrik gula di Thailand.
Dalam kunjungan tersebut diduga dibiayai oleh Arif disertai dengan adanya pemberian sejumlah uang kepada rombongan yang ikut, termasuk salah satunya kepada Budi.
Setelah studi banding ke Thailand tersebut, Budi memerintahkan salah satu staf PTPN XI untuk menyiapkan dan memproses pelaksanaan pelelangan dengan nantinya dimenangkan oleh PT Wahyu Daya Mandiri.
Baca juga: Mahfud MD Singgung Kasus Rachel Vennya, Ceritakan Anak dan Cucunya yang Karantina dari Belanda
Arif diduga menyiapkan perusahaan lain agar seolah-olah turut sebagai peserta lelang.
Selain itu, Arif juga aktif dalam proses penyusunan spesifikasi teknis harga barang yang dijadikan sebagai acuan awal dalam penentuan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) senilai Rp78 miliar, termasuk data-data kelengkapan untuk lelang pengadaan 1 lot six roll mill di PG Djatiroto.
Adapun nilai kontrak yang telah disusun atas dasar kesepakatan Budi dan Arif yaitu senilai Rp79 miliar.
Saat proses lelang dilakukan, diduga terdapat beberapa persyaratan yang telah diatur untuk memenangkan PT Wahyu Daya Mandiri, di antaranya terkait waktu penyerahan barang yang dimajukan tanggalnya pada saat aanwijzing, karena PT Wahyu Daya Mandiri sudah lebih dulu menyiapkan komponen barangnya.
Baca juga: Gaya Jokowi, Wali Kota Bogor dan Aparat TNI-Polri Bujuk serta Hibur Anak SD saat Vaksinasi
Diduga pula saat proses lelang masih berlangsung, ada pemberian 1 unit mobil oleh Arif kepada Budi.
Terkait proses pembayaran, diduga ada kelebihan nilai pembayaran yang diterima oleh PT Wahyu Daya Mandiri yang disetujui oleh Budi.
Adapun dugaan kerugian negara yang ditimbulkan dalam proyek pengadaan ini sejumlah sekitar Rp15 miliar dari nilai kontrak Rp79 miliar.
Atas perbuatannya, Budi dan Arif disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana