Tanggapi Pleidoi Heru Hidayat, Jaksa Sebut Vonis Tak Sesuai Dakwaan Bukan Hal yang Baru
Jaksa menanggapi pleidoi atau nota pembelaan dari terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi di PT Asabri, Heru Hidayat
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Adi Suhendi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa penuntut umum (JPU) menanggapi pleidoi atau nota pembelaan dari terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi di PT Asabri, Heru Hidayat beserta kuasa hukumnya.
Dalam tanggapannya, jaksa menyatakan dalam praktik peradilan, Majelis Hakim menjatuhkan vonis yang tidak sesuai dengan dakwaan jaksa bukan hal baru.
Diketahui dalam pleidoinya, Heru Hidayat bersama kuasa hukum menyatakan tuntutan hukuman mati yang dijatuhkan jaksa tidak sesuai koridor, sebab pasal yang ada di surat dakwaan dengan tuntutan tidak sesuai.
"Bahwa dalam praktik peradilan, Hakim memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan kepada Terdakwa adalah bukan sesuatu hal baru," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam tanggapannya, dikutip Kamis (16/12/2021).
Lantas dirinya memberikan contoh terkait praktik pradilan yang dimaksudnya itu. Di mana kata dia, hakim pernah menjatuhkan vonis pada kasus Nomor: 17/ PID.SUS/TPK/PN.JKT.PST, tanggal 23 Juni 2014 yang menurutnya tidak sesuai dengan surat dakwaan.
Baca juga: Bacakan Replik, Jaksa Tanggapi Pleidoi Heru Hidayat Soal Tuntutan Hukuman Mati dalam Kasus Asabri
Kala itu, yang duduk sebagai terdakwa yakni Susi Tur Andayani dalam perkara tindak pidana korupsi (suap) pengurusan sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam putusannya kata Leonard, Hakim memutus Pasal yang berkualifikasi delik berbeda dengan pasal yang tercantum di dalam surat dakwaan.
"Saat itu Hakim memutus dengan menggunakan ketentuan dari Pasal 6 Ayat 1 huruf a UU Tipikor, selain dari perkara tersebut, masih terdapat putusan pengadilan yang lain, yang mana Hakim dalam memutus perkara diluar dari pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepada Terdakwa," katanya.
Demikian halnya dalam penggunaan pasal 63, 64 dan 65 KUHP yang dalam praktik peradilan sering digunakan meskipun tidak dicantumkan dalam Surat Dakwaan.
Baca juga: Terdakwa Korupsi PT ASABRI, Heru Hidayat Tak Mau Komentar Usai Bacakan Pembelaan atas Tuntutan Mati
Karena pasal-pasal tersebut merupakan pemberatan dan bukan merupakan unsur delik.
"Pasal-pasal tersebut bersifat sama dengan apa yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," katanya.
Sebelumnya, Terdakwa dugaan kasus korupsi di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) Heru Hidayat, menyampaikan nota pembelaan alias pleidoi pribadinya atas tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Heru dituntut pidana hukuman mati pada perkara ini.
Baca juga: Bacakan Pledoi, Heru Hidayat Sebut Tuntutan Jaksa Di Luar Koridor Hukum dan Melebihi Wewenang
Dalam pleidoi yang turut diserahkan dalam persidangan itu, Heru menyatakan, pasal yang dituntut oleh jaksa kepada dirinya dalam perkara ini menyimpang.
Sebab pasal tersebut tidak sesuai dengan apa yang didakwakan jaksa kepada dirinya.
"Sebagaimana kita ketahui bersama, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak pernah dicantumkan dalam Surat Dakwaan kepada saya, bahkan sejak awal mula Peyidikan perkara ini, pasal tersebut tidak pernah disertakan," kata Heru dalam pleidoinya, Senin (13/12/2021).
Sebagai informasi, dalam dakwaannya jaksa menyatakan Heru diancam melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Saat jaksa menjatuhkan tuntutan, Heru dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana hukuman mati.
Padahal dalam Undang-Undang No.31 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ancaman hukuman mati itu tertuang di Pasal 2 ayat (2).
"Sementara ancaman hukuman mati dalam UU Tipikor hanya diatur dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut. Lalu kenapa mendadak dalam Surat Tuntutan Jaksa menuntut mati ? Sementara dalam poin 1 amar Tuntutannya Jaksa menyatakan saya bersalah di Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor," ucap Bayu.
Atas hal itu, Heru menilai, tuntutan yang dijatuhkan jaksa kepada dirinya adalah suatu bentuk kezaliman karena tidak sesuai dengan koridor dalam dakwaan.
Padahal kata dia, dakwaan yang dijatuhkan oleh setiap jaksa dalam perkara apapun merupakan pedoman jaksa untuk menjatuhkan tuntutan, serta pedoman dari majelis hakim untuk memutus perkara.
"Bukankah yang membuat persidangan ini ada adalah karena Surat Dakwaan Jaksa ? Sehingga jelas dalam perkara ini Jaksa telah melakukan Tuntutan diluar koridor hukum dan melebihi wewenangnya," kata Heru.
Diketahui, Jaksa penuntut umum (JPU) menjatuhkan tuntutan pidana terhadap pihak swasta dalam hal ini Komisaris PT Trada Alam Mineral (TRAM) Heru Hidayat.
Pembacaan tuntutan itu dibacakan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (6/12/2021).
Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan terdakwa Heru secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan pertama dan dakwaan kedua primer dari Jaksa.
"Menyatakan terdakwa Heru terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer pasal Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahaan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana," kata jaksa dalam persidangan, Senin (6/12/2021).
"Serta, pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang," lanjut jaksa.
Atas hal itu, jaksa menjatuhkan tuntutan terhadap Heru yang dinilai melakukan tindak pidana luar biasa atau extra ordinary crime dengan pidana hukuman mati.
Penjatuhan tuntutan ini juga dilayangkan jaksa mengingat karena Heru juga merupakan terpidana pada kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya yang telah merugikan negara Rp 16 Triliun, dimana dia divonis hukuman seumur hidup.
"Kami menuntut supaya majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada PN Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi terhadap terdakwa Sony Wijaya untuk memutuskan, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Heru Hidayat dengan hukuman mati," tuntut jaksa.
Tak hanya menjatuhkan tuntutan hukuman pidana, jaksa juga menuntut Heru untuk membayar uang pengganti yang telah dinikmati atas perbuatannya yakni senilai Rp 12,6 Triliun.
Jika tidak mampu membayar uang pidana pengganti tersebut maka seluruh harta benda Heru akan disita untuk menutupi pidana uang pengganti.
"Membayar uang pengganti sebesar Rp12,64 triliun dengan ketentuan tidak dibayar sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk uang pengganti tersebut," ucap jaksa.