KPAI: Jaringan Bisnis Konten Pornografi Anggap Anak Sasaran Empuk untuk Dapat Cuan
Maraknya kasus kekerasan seksual, utamanya pada anak-anak, tak dipungkiri karena adanya pengaruh dari konten pornografi di media sosial.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Maraknya kasus kekerasan seksual, utamanya pada anak-anak, tak dipungkiri karena adanya pengaruh dari konten pornografi di media sosial.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan jaringan bisnis pornografi menganggap anak sasaran empuk untuk mendapatkan keuntungan materil atau cuan.
Walaupun negara, dalam dalam 3 tahun ini, menurut Susanto, telah berupaya untuk membuat proteksi terhadap konten-konten pornografi di internet maupun sosial media.
Hal ini ia sampaikan saat mengisi FGD virtual yang diselenggarakan PPI Dunia, terkait Daruray Kekerasan Seksual di Tanah Air, Jumat (17/12/2021).
"Memang dalam tiga tahun ini ada kemudahan, karena ada proteksi negara terkait konten pornografi. Jika menggunakam keyword pornografi 5 tahun lalu masih sangat mudah. Tapi untuk tiga tahun ini ada perbaikan proteksi negara, meski masih saja ada," ujar Susanto.
Susanto mengatakan berdasarkan dari beberapa kajian sekaligus pemetaan terhadap kasus yang masuk di KPAI, pemicu kekerasan seksual pada anak berasal dari banyak faktor.
Baca juga: Darurat Kekerasan Seksual, Politisi NasDem Sayangkan RUU TPKS Tak Diparipurnakan Hari Ini
Namun diurutan pertama adalah mudahnya akses konten pornografi.
Ada perbedaan perspektif yang mendasar dari sisi etika antara orang tua, agama maupun negara, dengan para pebisnis jaringan konten pornografi.
Jika konten pornografi dianggap sebagai konten adiksi yang menimbulkan ketergantungan yang dapat merusak otak dan harus dijauhkan dari anak.
Maka bagi jaringan pebisnis konten pornografi, anak dimaknai sebagai sasaran yang empuk untuk menghadirkan nilai material bagi mereka.
Oleh sebab itu, walaupun sudah ada proteksi konten pornografi masih mudah sekali untuk diakses.
"Konten pornografi dalam perspektif kita, anak harus dilindungi supaya tidak bisa mengakses konten pornografi. Tapi bagi jaringan pebisnis pornografi, anak dimaknai sebagai sasaran yang empuk untuk menghadirkan nilai material," kata Susanto.
"Jadi perspektifnya berbeda. Perspektif kita, perspektif etika, agama, dan perlindungan anak berbeda dengan perspektif jaringan bisnis penyebar konten pornografi. Anak dianggap sebagai sasaran empuk komersial, yang menguntungkan secara materil," ujarnya.
Selain itu, pemicu maraknya kejahatan seksual juga berasal dari lingkungan sosial anak, pola pengasuhan orang tua pada anak, gagalnya penanganan terhadap korban kekerasan, hingga proses hukum yang tidak baik.
Anak juga rentan menjadi pelaku kejahatan karena faktor-faktor tersebut.
Faktor pemisifitas orang tua, yang tidak peduli dengan kegiatan yang dikerjakan oleh anak juga menjadi catatan.
Anak yang dibiarkan saja, misalnya dibiarkan saja saat main gadget, akan mudah terpapar konten adiksi seperti konten pornografi dan konten judi online.
"Pola penggasuhan yang permisif, tidak memantau anak saat berselancar di digital, itu menjadi catatan yang besar. Anak terpapar konten adiksi, porno, judi, itu juga karna faktor pemisifitas," ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.