Komnas Perempuan Kecewa RUU TPKS Tak Masuk Paripurna DPR: Setiap Hari 35 Perempuan Jadi Korban
Komnas Perempuan sayangkan tak masuknya RUU TPKS dalam Paripurna DPR: Setiap Hari, 35 Perempuan Jadi Korban.
Penulis: Shella Latifa A
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kecewa RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tak dimasukkan dalam rapat paripurna DPR RI yang dilakukan pada Kamis (16/12/2021).
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyebut padahal ditetapkannya RUU TPKS sebagai usul inisiatif DPR telah ditunggu-tunggu masyarakat.
Khususnya korban tindak pidana kekerasan seksual, keluarga korban, dan pendamping korban.
"RUU ini merupakan titian untuk mewujudkan perlindungan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual dan upaya memutus keberulangan di tengah-tengah kondisi darurat kekerasan seksual," kata Andy dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews.com, Jumat (17/12/2021).
Baca juga: Perempuan Bangsa Kawal RUU TPKS dan Advokasi Korban Kekerasan Seksual
Andy mengatakan, RUU TPKS sebagai payung hukum penting untuk segera dihadirkan.
Urgensi tersebut bermula dari tingginya angka kekerasan seksual dalam rentang waktu sepanjang 2001-2011.
Selama dasawarsa tersebut, 25 persen kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan seksual.
"Setiap hari, sekurangnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.
"Artinya, setiap 2 jam ada 3 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual." lanjut Andy.
Baca juga: Kritisi RUU IKN, Fraksi PKS: Jakarta Masih Sangat Layak Jadi Ibu Kota Negara
Selain itu, selama menunggu RUU TPKS disahkan, sejak tahun 2012 hingga 2020, tercatat 45.069 kasus kekerasan seksual melapor ke Komnas Perempuan.
Andy pun mengingatkan bahwa periode DPR 2014-2019 RUU TPKS pernah dibahas pemerintah.
Namun sampai akhir periode tidak berhasil menyetujui satu pun isu dalam daftar inventaris masalah (DIM) RUU P-KS.
Akibatnya, RUU P-KS tidak dimasukkan sebagai RUU carry over melainkan harus dimulai dari awal.
"Salah satu faktornya adalah, kepentingan hak-hak korban tidak ditempatkan sebagai isu pokok pembahasan."