Rata-rata Puas dengan Jokowi-Ma'ruf dalam Persepsi Ekonomi, Tapi tidak di Bidang Hukum & Demokrasi
Mardani menilai hasil itu juga tak mencerminkan peran negara dalam menyediakan pekerjaan dan kualitas upah buruh terkait dampak pandemi.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyaknya hasil survei yang menunjukkan masyarakat puas dengan kinerja Joko Widodo-Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf) tak sejalan dengan pemikiran partai politik oposisi.
Diketahui, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi-Ma'ruf di sejumlah lembaga survei rata-rata berada di angka 70 persen.
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengaku tak sepakat dengan hasil tersebut.
Sebab bagi dirinya sendiri, kinerja pemerintah secara umum masih belum maksimal. Dia memberikan nilai 6 dari skala 0 hingga 10.
"Kinerja secara umum dalam skala 0-10 nilainya 6. Kerja keras pada beberapa kementerian sudah nampak tapi masih banyak kementerian yang bussiness as ussual. Utang luar negeri yang tinggi plus kualitas SDM jadi catatan besar," ujar Mardani, kepada Tribunnetwork, Senin (27/12/2021).
Mardani menilai hasil itu juga tak mencerminkan peran negara dalam menyediakan pekerjaan dan kualitas upah buruh terkait dampak pandemi.
Menurutnya negara belum hadir dengan cerdas menyelesaikan masalah ini. Pun demikian dengan urusan penanganan Covid-19, terutama karantina dan kewajiban PCR.
Negara dinilainya belum mampu memberi fasilitas pada mereka yang memerlukan dengan pola yang lebih efisien dan humanis.
Selain itu, dikatakan Mardani, mesti ada political will yang kuat untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
Baca juga: Tingkat Kepuasan Masyarakat terhadap Kinerja Jokowi-Maruf Amin Hampir Selalu di Atas 60 Persen
Penyakit politik biaya tinggi yang membuat kelompok oligarki menguat hingga politik yang involutif mesti dibenahi secara fundamental.
"Paket Undang-Undang Politik yang lebih mendorong demokrasi substansial perlu didorong. Termasuk didalamnya penataan parpol, sistem pemilu plus otonomi daerah yang lebih terorkestrasi dan efisien. Anggaran dan sumber daya di Pusat dan Daerah mesti digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat," ucapnya.
Anggota Komisi II DPR RI itu turut mengkritisi agar perhatian lebih diberikan pada peningkatan standar kualitas pendidikan dan layanan kesehatan sebab kualitas SDM sangat ditentukan dua faktor tersebut.
Begitu pula dengan daya inovasi dan industri yang menurut Mardani sepatutnya dijadikan prioritas.
Saat ini, lanjutnya, tak ada negara maju yang tidak fokus pada daya inovasi dan kekuatan industrinya.
"Pak Jokowi dan kabinetnya masih kerja, kerja dan kerja. Tapi yang diperkirakan kerja cerdas dan kerja tuntas. Bukan hanya kerja," katanya.
Sementara itu, juru bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengevaluasi kinerja pemerintah sepanjang 2021.
Dia menegaskan seharusnya pemerintah tidak membuat kebijakan yang serba tanggung.
Akan lebih baik kata dia, jika fokus pada bidang kesehatan saja. Dengan membuat rakyat sehat, tentu akan lebih mudah memulihkan ekonomi.
"Seharusnya Pemerintah berfokus pada upaya-upaya bagaimana agar rakyat bisa terhindar dari bencana covid-19. Seperti yang diingatkan berulang kali oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono, tidak ada yang lebih berharga daripada nyawa manusia," kata Herzaky.
Dia juga menilai hasil survei tak mencerminkan sikap pemerintah. Sebab pemerintah dianggapnya kurang terbuka dalam menerima masukan dan kritikan terkait kebijakan yang diambil.
Dampak pandemi bisa lebih diminimalisir, diyakini Herzaky, andaikan pemerintah sejak awal terbuka dengan masukan dari akademisi, kalangan masyarakat sipil, dan partai politik yang berada di luar pemerintahan.
Ketika situasi memburuk, pemerintah baru mau mendengar dan berubah namun itu dianggapnya sudah terlambat.
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat itu turut menyoroti isu dimana pandemi dijadikan ajang bisnis oleh pejabat negara.
Dia mengimbau para pejabat menjauh dari pengadaan peralatan maupun hal-hal lainnya yang dibutuhkan seputar pandemi.
"Akan timbul ketidakpercayaan publik yang tinggi atas setiap kebijakan yang diambil, karena ada satu dua pejabat publik yang tersangkut kasus bisnis di seputar pandemi. Ujung-ujungnya akan semakin menghambat kita dalam menangani dan menghadapi pandemi ini," katanya.
Baca juga: Temui Jokowi di Istana Bogor, Gus Yahya Laporkan Hasil Muktamar ke-34 NU dan Kesepakatan Program
Di sisi lain, pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Ujang Komarudin mengkhawatirkan hasil survei yang menunjukkan kepuasan masyarakat akan kinerja Jokowi-Ma'ruf tersebut.
Dia menilai bisa saja hasil survei tersebut tidak objektif.
"Saya mengkhawatirkan apakah surveinya objektif atau tidak. Karena banyak juga survei dibuat untuk mengangkat kepuasan kinerja atau juga elektabilitas kandidat dalam pencapresan. Terkadang banyak survei yang menjungkalbalikkan keadaan," kata Ujang.
Menurutnya kinerja pemerintah ada yang bagus, namun tak jarang yang buruk.
Ujang sendiri tak terlalu setuju dengan tingkat kepuasan masyarakat yang mencapai angka di atas 70 persen.
Menurutnya angka tersebut terlalu tinggi di saat banyak rakyat yang masih terdampak pandemi dan menjadi pengangguran, sehingga survei-survei itu disebutnya meragukan.
"Tapi apapun itu kita semua memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan survey yang benar dan objektif. Saya tak menuduh siapa-siapa, namun rakyat pun sudah paham dengan permainan lembaga survei. Mudah-mudahan surveinya benar dan objektif agar rakyat tak dibohongi," katanya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno justru melihat kepercayaan tinggi masyarakat pada kinerja Jokowi-Ma'ruf didasarkan pada persepsi publik soal kondisi ekonomi yang dinilai berangsur membaik.
Namun hal itu berbanding terbalik dengan bidang lainnya yang menjadi sorotan publik seperti bidang hukum.
"Jadi kalau dilihat rata-rata orang puas dengan Jokowi-Ma'ruf dalam hal persepsi ekonomi. Tapi tidak di bidang hukum dan demokrasi yang diberikan lampu kuning oleh publik. Lembaga penegak hukum, terutama KPK, mendapatkan sentimen negatif. Begitupun dengan kualitas demokrasi yang menurun tajam sejak 15 tahun terakhir," kata Adi. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.