Lembaga Eijkman Dilebur ke BRIN, Bagaimana Nasib Para Ilmuwan & Awak Kapal Riset Baruna Jaya?
Apabila para ilmuwan memilih opsi-opsi yang ditawarkan BRIN maka tidak ada ilmuwan yang diberhentikan tanpa pesangon.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ratusan ilmuwan di lembaga penelitian bio molekuler Eijkman mendadak diberhentikan dan tidak diberikan pesangon.
Hal tersebut terjadi imbas adanya penggabungan lembaga riset tersebut ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Diketahui, Eijkman resmi terintegrasi ke BRIN pada September 2021. Lembaga itu juga telah berganti nama menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman.
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko saat dikonfirmasi membantah adanya ratusan ilmuwan yang tidak menerima pesangon usai diberhentikan.
Menurutnya, apabila para ilmuwan memilih opsi-opsi yang ditawarkan BRIN maka tidak ada ilmuwan yang
diberhentikan tanpa pesangon.
"Ya tentu saja tidak benar, kecuali bagi yang memang tidak berkenan memilih salah satu opsi dari kami," kata Laksana, Minggu (2/1/2022).
Kata Laksana, Eijkman bukanlah lembaga resmi pemerintah melainkan unit proyek di Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).
"Hal ini menyebabkan, selama ini para PNS (Pegawai Negeri Sipil) Periset di LBME tidak dapat diangkat sebagai peneliti penuh, dan berstatus seperti tenaga administrasi," jelasnya.
Baca juga: Eijkman Dilebur ke BRIN, PKS: Pemerintah Jangan Gegabah, Riset Vaksin Merah Putih Bisa Mandek
Namun, lanjut Laksana setelah Eijkman dilebur ke dalam BRIN pada 1 September 2021 maka status LBME telah menjadi lembaga resmi dan menjadi unit kerja bernama PRBM Eijkman.
PRBM kata dia berada di bawah Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati.
"Dengan status tersebut maka para periset kami angkat menjadi peneliti dengan segala hak finansialnya," ujar Laksana.
Sebelum menjadi PRBM menurut Laksana, LBM Eijkman banyak merekrut tenaga honorer yang tidak sesuai ketentuan berlaku.
Sehingga kata dia muncullah beberapa opsi yang kemudian ditawarkan BRIN kepada para ilmuwan.
Lima opsi yang ditawarkan tersebut adalah PNS periset akan dilanjutkan menjadi PNS BRIN sekaligus diangkat sebagai peneliti.
Kedua, honorer periset usia di atas 40 tahun dan S3, mengikuti penerimaan ASN jalur PPPK 2021.
Berikutnya adalah honorer periset usia di bawah 40 tahun dan S3 mengikuti penerimaan ASN jalur PNS 2021.
Keempat, honorer periset non S3 melanjutkan studi dengan skema by-research dan research assistantship (RA).
"Sebagian, ada yang melanjutkan sebagai operator lab di Cibinong, bagi yang tidak tertarik lanjut studi," kata Laksana.
Baca juga: Eijkman Dorong Pemerintah Percepat Vaksinasi Covid-19, Sebelum Virus Corona Banyak Bermutasi
Terakhir, honorer non periset akan diambil alih RSCM sekaligus mengikuti rencana pengalihan gedung LBME ke RSCM sesuai permintaan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang memang memiliki aset tersebut sejak awal.
Atas hal tersebut, menurut Laksana, ilmuwan di Eijkman bukan dalam arti diberhentikan.
Namun, sebagian besar dialihkan atau disesuaikan dengan berbagai skema opsi yang diberikan.
"Agar sesuai dengan regulasi sebagai lembaga pemerintah," ujar Laksana.
Ketua LBM Eijkman periode 2014-2021, Profesor Amin Soebandrio membenarkan adanya perubahan di Eijkman setelah bergabung ke BRIN.
Amin menyebut beberapa ASN pasti diterima di Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman yang telah
terintegrasi dalam BRIN.
Dia menyebut ilmuwan lain juga ada peluang menjadi pegawai, akan tetapi ada aturannya.
"Yang ASN pasti diterima. Tetapi yang peneliti-lain lain bisa diterima, cuma ada aturannya," ujarnya.
Baca juga: Lembaga Eijkman Sebut Mutasi Corona Baru B117 di Indonesia Kasus Impor
Awak Kapal
Tidak hanya periset di lembaga bio molekuler Eijkman yang dikabarkan diberhentikan tanpa pesangon, sejumlah awak non-PNS di Kapal Baruna Jaya juga mengalami nasib serupa.
Di media sosial tersebar video sejumlah orang disebut awak kapal riset Baruna Jaya menangis dan berpelukan karena diberhentikan tanpa pesangon.
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko mengakui ada pemberhentian bagi beberapa awak kapal non-PNS.
Dia menyebut hal itu sebagai upaya perampingan.
"Dengan penggabungan seluruh kapal riset, tentu armada kapal riset menjadi lebih slim dan kami tidak bisa memperbarui semua kontrak," ucapnya.
Menurut Laksana, honorer atau pegawai kontrak yang diperbarui tiap tahun, jika diberhentikan, tidak akan mendapat pesangon. Bagi BRIN, memberi pesangon justru melanggar aturan.
"Sesuai regulasi, honorer di lembaga pemerintah selalu berbasis kontrak tahunan, dan wajib diberhentikan pada akhir tahun anggaran. Dan tentu tidak ada pesangon. Kalau ada pesangon itu melanggar hukum," katanya.
Baginya, setiap pegawai kontrak di lembaga negara pasti mengerti hal tersebut.
"Di kontak yang mereka tandatangani, pasti tertera hal tersebut. Kalaupun ingin memberi, kami tentu tidak bisa memberikan hal semacam itu," katanya.
Laksana menerangkan, di kasus kapal riset, akan ada perubahan jumlah entitas. Ada integrasi dari lima entitas menjadi satu entitas.(Tribun Network/rin/kps/wly)