NasDem: RUU TPKS Kalau Dicampur Hal Lain Jadi Bias
Indonesia sebagai negara darurat kekerasan seksual memang sudah seharusnya memiliki payung hukum tersebut
Penulis: Reza Deni
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi Partai NasDem, Taufik Basari menilai keberadaan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) khusus mengatur bentuk kekerasan seksual.
Menurutnya, Indonesia sebagai negara darurat kekerasan seksual memang sudah seharusnya memiliki payung hukum tersebut.
"Karena itu tidak bisa dicampur dengan hal-hal lain. Karena yang kita atur terkait dengan kebutuhan memberikan rasa aman kepada masyarakat," kata Taufik dalam rilis survei SMRC terkait RUU TPKS secara daring, Senin (10/1/2022).
Legislator Komisi III DPR RI itu mengatakan konsekuensi jika dipaksakan dicampur dengan aturan lain.
"Kalau kita campurkan dengan hal-hal lain itu akan menjadi bias," katanya.
Baca juga: Mahasiswi Unesa Surabaya Jadi Korban Pelecehan Seksual Oknum Dosen Saat Bimbingan
Sebelumnya, Sekretaris Fraksi PKS DPR RI Ledia Hanifa Amalia menegaskan kembali soal alasan pihaknya menolak RUU TPKS.
"Kenapa sih kami menganggap bahwa jangan sekarang dulu bahwa kami menganggap jika disahkan pada saat ini karena ada 3 hal yang berkaitan dengan pidana yang seharusnya jadi satu paket diselesaikan," kata Ledia dalam hasil survei SMRC yang disiarkan secara daring, Senin (10/1/2022).
Dia menyebutkan tiga hal itu berkaitan dengan kekerasan seksual, kebebasan seksual, dan penyimpangan seksual.
PKS menganggap RUU TPKS baru mengakomodasi satu hal, yaitu kekerasan seksual.
"Sehingga akhirnya kemudian potensial menimbulkan pemahaman yang berkaitan dengan sexual consent yang kemudian kita sampaikan pada saat itu," kaya dia.
Dia pun menyoroti aturan dalam RUU TPKS terkait kekerasan seksual dalam rumah tangga antara pasangan suami istri.
"Beberapa hal yang masih harus kembali kami sampaikan, karena TPKS ini dalam perdebatannya bahwa yang dipidana adalah pelaku kekerasan antara hubungan suami istri dan bukan suami istri. Artinya kan kalau yang tanpa kekerasan tidak akan kena pidana," kata Ledia.
Karena itu, bagi PKS tiga hal di atas harus turut ikut diatur dalam RUU TPKS.
Baca juga: Komentari Temuan SMRC Mayoritas Publik Ingin RUU TPKS Disahkan, PKS Beberkan Alasan Penolakan
Pasalnya, pihak PKS merisaukan jika kebebasan seksual dan penyimpangan seksual tidak turut diatur justru dapat menimbulkan persepsi bahwa rancang undang-undang ini tidak melarang kebebasan seksual yang didasarkan pada suka sama suka atau seksual consent.
"Ini akan sama dengan bagaimana kita melihat perkembangan sebagimana KUHP berwujud yang sesuai dengan sexual consent Barat," pungkas Ledia
Sebelumnya, Lembaga Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei terkait sikap publik terhadap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Dalam temuannya, sebanyak 39 responden tahu soal RUU TPKS dan yang tidak tahu sebanyak 61 persen.
"Kira tanya lagi yang tahu ini apakah bapak setuju atau tidak dengan adanya RUU tersebut? 60 persen dari yamg tahu itu menyatakan setuju, sementara yang menyatakan tidak setuju 36 persen, dan tidak tahu sebanyak 5 persen" kata Manajer Program SMRC Saidiman Ahmad dalam kalan Youtube SMRC TV, Senin (10/1/2022).
Kemudian, ketika didalami lagi, Saidiman mengatakan bahwa sebanyak 65 persen dari 39 persen responden SMRC yang tahu soal rancangan UU ini, meminta agar RUU TPKS segera disahkan.
Hal tersebut menyikapi permintaan Presiden Jokowi agar RUU TPKS segera disahkan.
"Setuju atau tidak dengan permintaan Presiden agar RUU ini disahkan? Terhadap permintaan Presiden itu, dari survei kita, kita menemukan ada 65 persen yang setuju agar RUU TPKS ini disahkan," kata
Sementara yang menyatakan tidak setuju, dikatakan Ahmad, ada 21 persen, dan yang belum memiliki sikap ada sebanyak 14 persen.
"Dengan hasil tersebut, Pemerintah dan DPR memiliki legitimasi yang cukup kuat dari publik agar RUU TPKS ini disahkan," kata dia.
Diketahui, survei SMRC digelar pada 8-16 Desember 2021 menggunakan metode wawancara langsung, dan 5-7 Januari 2022 menggunakan metode wawancara via telepon.
Responden yang dapat diwawancarai secara valid adalah sebanyak 2.062 dengan margin of error sebesar kurang lebih 2,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Sementara responden yang diwawancara via telepon sebanyak 1.249 responden. Margin of error sebesar kurang lebih 2,8 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen asumsi simple random sampling.