Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

PSI: Kualitas RUU TPKS Harus Terjaga dan Memperhatikan Hak Korban

PSI meminta DPR tidak asal-asalan membahas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), hak korban harus diperhatikan

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in PSI: Kualitas RUU TPKS Harus Terjaga dan Memperhatikan Hak Korban
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Massa yang tergabung dalam Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual melakukan aksi unjuk rasa didepan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (22/12/2021). Dalam aksinya mereka mendesak DPR RI mengesahkan rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasa Seksual (RUU TPKS) sebagai RUU Inisiatif DPR RI pada sidang paripurna DPR pembukaan masa sidang 13 Januari 2022 sebagai bentuk perempuan Indonesia bebas dari kekerasan dan pelecehan seksual. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta DPR tidak asal-asalan membahas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). 

Dengan demikian, RUU TPKS yang nanti akan disahkan tetap berkualitas dan dapat menjawab tantangan dalam permasalahan kekerasan seksual yang kian marak terjadi. 

“PSI berharap mutu UU yang dihasilkan juga mumpuni dan tidak ala kadarnya. Kita semua punya kewajiban untuk memastikan kualitas UU yang dihasilkan terjaga,” kata Sekjen DPP PSI Dea Tunggaesti, dalam diskusi online Solidaritas untuk Korban, Urgensi RUU TPKS, Kamis (13/1/2022). 

Baca juga: Minta RUU TPKS Disahkan, Kementerian PPPA: Modus Kekerasan Seksual Makin Ekstrem

Dea menilai RUU TPKS sangat mendesak untuk disahkan.

RUU yang mandek di DPR sejak 2016 ini, menjadi tumpuan harapan banyak pihak, terutama korban kekerasan seksual

“Jangan mengecewakan rakyat. Jadi, buat para wakil rakyat di Senayan, selamat membahas. Mohon mengalokasikan waktu dan tenaga untuk menghasilkan produk perundang-undangan ini dengan cepat dan berkualitas prima. Jangan sampai titik terang kembali meredup,” ujar Doktor Ilmu Hukum dari Unpad itu. 

Pengurus Komite Solidaritas Pelindung Perempuan dan Anak (KSPPA) DPP PSI, Tanti Herawati, turut membagi pengalamannya dalam advokasi dan pendampingan korban kekerasan seksual

Berita Rekomendasi

KSPPA DPP PSI yang dibentuk pada Juni 2021 hingga hari ini, telah membantu setidaknya 30 kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak, termasuk kasus kekerasan seksual oleh pemilik pesantren putri terhadap 13 santriwati di Kota Bandung. 

Baca juga: NasDem: RUU TPKS Kalau Dicampur Hal Lain Jadi Bias

Hera menjelaskan, selama KSPPA DPP PSI mendampingi korban kekerasan seksual, hal yang sering luput dari perhatian negara adalah soal hak para korban. 

Mulai dari biaya visum yang dibebankan kepada korban, masalah pendidikan jika korbannya masih bersekolah, masalah kesehatan dan penyembuhan trauma pasca kekerasan, hingga persoalan restitusi yang tidak memperhitungkan hak korban secara penuh, dan sebagainya.  

“Yang dibicarakan semua ini harusnya ‘hak korban mana?’, bukan justru hanya tindakan pidana, pasal mana yang bicara ‘ini lho hak korban’. Banyak orang berpikir bahwa hak korban itu adalah pelaku dihukum berat. Itu tidak adil. Mereka (korban) butuh sekolah, mencari nafkah, menghilangkan trauma, mengatasi masalah kesehatan jika terkena penyakit kelamin dari pelaku, dll,” ucap Ketua DPD PSI Kota Bekasi ini. 

Karena itu, dia berharap, DPR dan Pemerintah benar-benar mempertimbangkan untuk memasukkan pasal-pasal tentang pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual di dalam pembahasan RUU TPKS nanti.

“Kalau memang kami diberi kesempatan untuk bersuara, mohon dimasukkan hak-hak korban. Bukan hanya soal tuntutan hukuman (pada pelaku) yang mereka (korban) butuhkan, tapi kelangsungan hidup ke depan mereka akan seperti apa,” ujar Hera. 

Baca juga: Sahroni: Terima Kasih Giring, Saya Makin Semangat Kerja

Terkait dengan pemenuhan hak korban, juga disampaikan peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rachmawati. Menurutnya, meski sudah ada tiga hak korban (hak penanganan, hak perlindungan dan hak pemulihan) tercantum dalam RUU TPKS, namun itu belum cukup memadai. Untuk itu, sejumlah perbaikan mutlak dibutuhkan agar RUU TPKS lebih komprehensif mengatur pemenuhan hak korban kekerasan seksual.

“Yang jadi catatan, yang juga perlu kita dorong, itu di aspek pemulihan. Secara normatif memang diatur dalam RUU TPKS draft Desember 2021, bahwa korban memperoleh jaminan hak sosial, kesehatan dan tempat tinggal. Tapi ada permasalahan mendasar, yakni soal aspek regulasi, anggaran, kelembagaan dan SDM, di sini tidak cukup, kita harus mengeklirkan siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana mekanisme pemenuhan hak korban,” paparnya. 

Pembicara lain, aktivis perempuan Neng Dara Affiah menegaskan bahwa meskipun urgen RUU TPKS bukan satu-satunya jawaban untuk mengakhiri kekerasan seksual. Yang tak kalah penting, imbuhnya, adalah edukasi kepada masyarakat. 

“Penting bagi orang-orang yang punya pengetahuan tentang ini, dari kiai, ulama di majelis taklim, dan otoritas pendidikan yang bisa meng-engage sekolah-sekolah, termasuk PSI, untuk memberikan pemahaman (anti-kekerasan seksual) ini. Sehingga, kalau pemahaman sudah tertanam di masyarakat, RUU TPKS ini punya kaki, dia bisa jalan, bukan sebatas UU di atas kertas,” kata intelektual muslimah feminis itu. 

Baca juga: Formappi: Tak Ada Alasan DPR Menunda Penyelesaian RUU TPKS 

Diskusi yang dimoderatori Koordinator Jubir DPP PSI, Kokok Dirgantoro itu, juga menghadirkan pegiat hak perempuan Dea Safira. Salah satu paparannya, Dea meyakini akan banyak kasus-kasus kekerasan seksual bermunculan dalam bentuk baru seiring dengan kecanggihan teknologi. Menghadapi situasi itu, lanjut Dea, pemerintah harus terbuka dengan segala kemungkinan itu.

“Tidak menutup kemungkinan kekerasan akan semakin marak terjadi dalam bentuk-bentuk yang baru, seiring dengan kecanggihan teknologi. Misalnya, di dunia daring seperti Metaverse yang sekarang lagi heboh. Tapi nanti dijelasin dalam bahasa hukum itu bagaimana gitu lho? Nah, kita butuh pemerintah yang terbuka atas kemungkinan ini, bukan pemerintahan yang kaku,” kata perempuan yang juga berprofesi sebagai dokter gigi dan penulis itu. 

DPR baru saja memutuskan bahwa RUU TPKS akan menjadi RUU Inisiatif DPR pada 18 Januari mendatang.

Artinya, RUU TPKS segera dibahas DPR bersama Pemerintah. 

Di puncak peringatan HUT ke-7 PSI akhir Desember 2021, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie, sempat menyinggung belum disahkannya RUU TPKS. Padahal RUU TPKS (dulu disebut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual) sudah diserahkan ke DPR sejak 2016. 

Bak gayung bersambut, pada 4 Januari 2022, Presiden Joko Widodo menginstruksikan MenkumHAM dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk melakukan komunikasi dan koordinasi agar RUU TPKS segera disahkan. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas