Pakar HTN Uraikan Potensi Masalah UU IKN Baru yang Bisa Dibatalkan MK
Fahri Bachmid menyampaikan konsep Otorita IKN berpotensi tidak sejalan dengan paradigma pemerintahan daerah sesuai desain konstitusional
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) sudah disahkan menjadi Undang-Undang.
Akan tetapi, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid menyebut pengesahan UU IKN tersebut bisa saja dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Fahri, UU IKN yang disahkan melalui rapat paripurna itu berpotensi memunculkan masalah serius secara konstitusional.
Dikatakannya, MK dalam melaksanakan kewenangannya dapat menggunakan instrumen kewenangannya sebagai 'The Guardian of the Constitution' maupun sebagai 'the sole interpreter of the constitution' jika ada warga negara atau suatu badan hukum, baik publik maupun perdata yang secara potensial maupun aktual merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya UU IKN ini serta mengajukan judicial review ke MK.
“MK dapat saja membatalkan sebuah pengaturan terkait pranata yang tidak dikenal, baik dalam konteks tidak dikenalnya nomenklatur otorita dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun konsep serta paradigma yang memang sangat berbeda maupun tidak dikehendaki dalam rumusan konstitusi,” ujar Fahri, ketika dihubungi, Sabtu (22/1/2022).
Baca juga: Fahri Hamzah Usul Fraksi DPR Dihapuskan, Gerindra Nilai Tak Relevan dengan Format Tata Kenegaraan
Fahri Bachmid menyampaikan konsep Otorita IKN berpotensi tidak sejalan dengan paradigma pemerintahan daerah sesuai desain konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 18 UUD NRI Tahun 1945. Sebab, katanya, rumusan konstitusionalnya mengatur, konsep, struktur, bentuk serta mekanisme secara baku dan diatur dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) sampai ayat (7).
“Hal demikian itu menjadi sangat sulit secara teknis ketatanegaraan jika pemerintah dan DPR RI mencoba untuk membangun rumusan serta konsep lain dengan metode ekstensifikasi atau perluasan makna selain dari teks konstitusi yang ada dengan menjadikan pijakan konstitusi untuk memaknai konsep Otorita seolah-olah masih berada dalam rumpun serta ekosistem konsep pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UUD 1945 saat ini,” katanya.
Rumusan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 18 tersebut, menurut Fahri, mengatur tentang pembagian dan susunan tata pemerintahan daerah Indonesia. Pembagian pemerintahannya terdiri dari Provinsi, Kabupaten dan kota, sebagaimana diatur UU.
Baca juga: PKS: Pemindahan IKN Berpotensi Rusak Ekosistem Hutan dan Langgar UU Lingkungan Hidup
Kemudian pada ayat (2), disebutkan Fahri, pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota mangatur pemerintahannya masing-masing sesuai asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dan pada ayat (3) menjelaskan perumusan bahwa Pemda Provinsi, Kabupaten dan Kota, memiliki DPRD, yang anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu).
Selanjutnya, Fahri menguraikan bahwa ketentuan sebagaimana terdapat dalam Ayat (4) mengatur bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota, sebagai kepala pemerintahan dipilih secara demokratis, yang diamanahkan menjalankn otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang dalam UU ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat.
“Dengan demikian, jika mendasarkan pada studi hukum tata negara mengenai metode penafsiran berdasarkan 'original intent', maka sangat sulit serta tidak kompatibel dengan makna dan paradigma yang telah diatur dalam dalam ketentuan pasal 18 dan 18A UUD NRI Tahun 1945," urai Fahri.
Karena itu, Fahri menilai bangunan politik hukum yang digunakan pemerintah dan DPR untuk mengkonstruksikan konsep Otorita dalam UU IKN yang baru disahkan menjadi tidak sejalan dengan spirit konstitusi sepanjang terkait dengan konsep dan tata kepemerintahan daerah sesuai UUD.
Dengan demikian, apabila ada warga negara yang memiliki legal standing serta interest standing terkait konstitusionalitas otorita IKN, maka secara teoritik MK bisa saja membatalkan atau dapat menyatakan konsep otorita yang terdapat dalam UU IKN itu dinyatakan inkonstitusional.
“Ini adalah sesutu yang sangat riskan, hemat saya idelanya konsep dalam membangun kepemerintahan dalam UU IKN ini haruslah sejalan dan taat pada asas yang telah diatur dalam konstitusi, agar tidak menjadi problem teknis ketatanegaraan dalam urusan pemerintahan,” pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.