40 Orang Diduga Jadi Korban Perbudakan dan Penyiksaan di Rumah Bupati Langkat Tersangka KPK
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah mengatakan jumlah tersebut didasarkan pada laporan sementara dari masyarakat Langkat.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 40 orang diduga telah menjadi korban praktik perbudakan modern dan penyiksaan di rumah Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin yang kini menjadi tersangka dugaan suap proyek di Pemerintah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah mengatakan jumlah tersebut didasarkan pada laporan sementara dari masyarakat Langkat.
Hal tersebut disampaikannya usai membuat pengaduan terkait dugaan praktik perbudakan dan penyiksaan di sana ke Komnas HAM RI.
Baca juga: Migrant Care Adukan Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat Tersangka KPK Ke Komnas HAM
Para korban tersebut merupakan pekerja perkebunan sawit yang diduga dipekerjakan oleh Bupati Terbit.
"Laporan sementara ada 40 orang. Berapa lamanya nanti Komnas HAM yang akan melakukan penyelidikan lebih lanjut," kata Anis di kantor Komnas HAM RI Jakarta pada Senin (24/1/2022).
Anis mengatakan selain itu, pihaknya juga mengadukan dugaan penyiksaan yang terjadi di sana.
Berdasarkan foto yang ditunjukkan oleh Komisioner Komnas HAM RI M Choirul Anam, tampak seorang lelaki yang mengalami lebam di mata dan bagian wajah lainnya.
Ia mengatakan, saat ini belum melaporkan hal tersebut ke pihak Kepolisian.
"Belum. Ini kita koordinasi pertama dengan Komnas HAM," kata Anis.
Anis mengatakan ada tujuh perlakuan kejam dan tidak manusiawi yang diduga merupakan praktik perbudakan modern dan perdagangan manusia yang dipraktikan di sana.
Pertama, kata dia, Terbit diduga membangun semacam penjara atau kerangkeng di rumahnya.
Kedua, kerangkeng tersebut dipakai untuk menampung para pekerja setelah mereka bekerja.
Ketiga, kata Anis, para pekerja tersebut mereka tidak punya akses kemana-mana.
Keempat, mereka mengalami penyiksaan, dipukul, lebam, dan luka.
Kelima, lanjut dia, mereka diberi makan tidak layak yakni hanya dua kali sehari.
Keenam, kata Anis, mereka tidak digaji selama bekerja.
Ketujuh, mereka tidak punya akses komunikasi dengan pihak luar.