Buku Menumpas Bandar Menyongsong Fajar: Sejak Dulu Hingga Kini Narkoba Sangat Berbahaya
Pemakai yang menggunakan obat-obatan tersebut dalam dosis yang berlebih, efeknya justru membuat tubuh terlalu rileks sehingga kesadaran berkurang
Editor: Johnson Simanjuntak
Pada awal abad ke-17 VOC (Verenigde Oost India Company) membeli bahan mentah opium di pantai barat India; tetapi baru pada tahun 1659 secara langsung mengimport dari Bengal.
Perdagangan ini sangat menguntungkan. Akan tetapi pada abad 19 monopoli opium di Jawa dikuasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada saat itulah mulai diberlakukan opium pach (pajak opium).
Para agen pemegang lisensi (pachter) di Jawa dan daerah lainnya harus membayar pajak penjualan opium kepada pemerintah Kolonial Belanda, demikian juga Kesultanan Lingga (Riau) yang berada di bawah pengawasan Belanda memperoleh pendapatan besar dari perkebunan opium.
Baca juga: Gembong Narkoba Meksiko Gunakan Mayat Bayi untuk Selundupkan Narkotika
Di Jawa perdagangan opium terbilang sangat unik, sehingga menimbulkan terjadinya “black market opium”, di tempat inilah opium diperjualbelikan secara tidak legal melalui para pedagang Cina dan pegawai Pribumi yang bekerja pada Pemerintah Kolonial. Di kota-kota besar dijumpai pula “rumah candu” untuk menikmati opium dengan cara dihisap yang dilakukan secara legal.
Bahkan di Batavia dan beberapa kota lain di Jawa terdapat pabrik opium yang memproduksi dan menjadi pusat distribusi candu.
Pada masa Perang Kemerdekaan, fungsi opium sangat menunjang perekonomian perang, terutama untuk keperluan persenjataan dan logistik perang. Pada tahun 1960-an, narkoba sedikit demi sedikit mulai masuk dalam pasar Indonesia, karena letak geografis negara kita yang berada di antara dua benua, yaitu Asia dan Australia.
Persilangan dua benua ini merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang ramai serta potensial. Semula Indonesia bukan merupakan target wilayah pemasaran narkoba, melainkan hanya menjadi wilayah transit.
Tetapi karena Indonesia terus-menerus dijadikan daerah transit dimana kian hari para pengedar giat mempelajari seluk beluk maupun karakteristik pertumbuhan penduduk di Indonesia, maka pada gilirannya narkoba yang masuk dalam kategori barang ilegal singgah di kalangan penduduk, khususnya para remaja.
Pembahasan dilanjutkan dalam bab-bab selanjutnya. Bagian isi juga menguraikan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi peredaran narkoba di Indonesia. Ada faktor yang secara langsung mempengaruhi dan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi tetapi mempunyai andil kuat dalam terciptanya kondisi yang memberikan peluang untuk menyalahgunakan narkoba.
Faktor yang masuk dalam kategori pertama mempengaruhi penyalahgunaan narkoba antara lain sebagai berikut. Bahwa perdagangan atau peredaran narkoba merupakan bisnis besar yang mampu menghasilkan uang secara cepat.
Adanya efek ketergantungan (adiksi) terhadap orang yang menggunakan narkoba sehingga jika seseorang mulai menyalahgunakan pemakaian narkoba maka ia akan menggunakannya secara berkelanjutan.
Indonesia sudah masuk sindikat jaringan pengedar gelap narkoba yang berasal dari Segitiga Emas, Bulan Sabit Emas dan Amerika Latin. Kemudian faktor yang termasuk dalam kategori kedua.
Pertama, letak geografi Indonesia yang selain di jalur persimpangan juga terdiri dari ribuan pulau dengan banyak pelabuhan laut yang menyulitkan pengawasan secara intens.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menguntungkan pihak pengedar, sebaliknya mempersulit deteksi dari aparat keamanan. Hal lain menyangkut penegakan hukum, agama, pendidikan dan budaya.
Melalui buku ini, Tim Penulis bukan saja menyajikan perjalanan Narkotika sejal lama, tetapi mengingatkan betapa bahayanya jika penanganan sindikat dan bandar tidak dilakukan secara efektif dan koordinatif dengan lembaga-lembaga terkait.(*)