Sejarah Hari Pers Nasional, Wartawan Berperan sebagai Aktivis Pers Sejak Zaman Penjajahan
Sejarah Hari Pers Nasional, wartawan berperan sebagai aktivis pers dan aktivis politik sejak zaman penjajahan. HPN diperingati setiap 9 Februari.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Hari Pers Nasional diperingati setiap tanggal 9 Februari.
HPN bertepatan dengan tanggal lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946.
Hari Pers Nasional ditetapkan oleh Presiden Suharto pada 1985 melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional.
Perjuangan pers Indonesia tidak terlepas dari peran para jurnalistik sejak zaman penjajahan hingga hari ini.
Tokoh pers nasional yang dikukuhkan sebagai Bapak Pers Nasional adalah Tirto Adhi Soerjo, pendiri surat kabar Medan Prijaji.
Sosok Tirto Adhie Soerjo diabadikan dalam novel Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer dalam tokoh Minke, yang berinisal Raden Mas T.A.S.
Lalu, seperti apa perjalanan Pers Nasional hingga ditetapkannya Hari Pers Nasional?
Baca juga: Profil Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional dan Jurnalis Kritis Medan Prijaji
Sejarah Pers Nasional
Pada zaman penjajahan, para jurnalis sebenarnya sudah memiliki keinginan untuk menerbitkan surat kabar di Hindia Belanda, namun pemerintah Belanda menghambat mereka.
Kemudian, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff, terbitlah surat kabar "Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen" yang artinya "Berita dan Penalaran Politik Batavia" pada 7 Agustus 1744.
Dikutip dari Indonesia Baik, muncul surat kabar berbahasa Inggris "Java Government Gazzete" pada 1812, saat Inggris menguasai wilayah Hindia Timur pada 1811.
"Bataviasche Courant" kemudian diganti menjadi "Javasche Courant" yang terbit tiga kali seminggu pada 1829, yang memuat pengumuman resmi, peraturan dan keputusan pemerintah.
Llau, pada 1851, surat kabar "De Locomotief" terbit di Semarang.
Surat kabar ini memiliki semangat kritis terhadap pemerintahan kolonial dan memiliki pengaruh yang cukup besar.
Meningkatnya jumlah surat kabar berbahasa Belanda di Nusantara mengakibatkan menjamurnya surat kabar lain yang berbahasa Melayu dan Jawa.
Namun, surat kabar tersebut masih berada di bawah redaktur orang-orang Belanda, seperti "Bintang Timoer" (Surabaya, 1850), "Bromartani" (Surakarta, 1855), "Bianglala" (Batavia, 1867), dan "Berita Betawie" (Batavia, 1874).
"Medan Prijaji" milik Tirto Adhi Soerjo terbit pada 1907, di Bandung.
Medan Prijaji adalah pelopor pers nasional karena diterbitkan oleh pengusaha pribumi untuk pertama kali.
Sayangnya, ketika Jepang berhasil menaklukkan Belanda dan menduduki Indonesia pada 1942, kebijakan pers turut berubah.
Semua penerbit yang berasal dari Belanda dan China dilarang beroperasi.
Sebagai ganti pemberangusan itu, penguasa militer Jepang menerbitkan sejumlah surat kabar sendiri.
Pada masa penjajahan Jepang, ada lima surat kabar yaitu Jawa Shinbun yang terbit di Jawa, Boernoe Shinbun di Kalimantan, Celebes Shinbun di Sulawesi, Sumatra Shinbun di Sumatra dan Ceram Shinbun di Seram.
Baca juga: Hari Pers Nasional, Kapolda Metro Jaya: Wartawan Adalah Sahabat, Jangan Pernah Bosan Mengkritik
Pers Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, kehidupan pers mulai radikal.
Muncul kekuatan-kekuatan politik dari golongan nasionalis, agama, komunis dan tentara pada era 1950-1960.
Pada masa ini muncul LKBN Antara pada 13 Desember 1937, RRI pada 11 September 1945, dan organisasi PWI pada 1946 (yang kemudian menjadi cikal bakal Hari Pers Nasional).
Selain surat kabar, pada masa itu juga muncul stasiun televisi pemerintah yaitu TVRI pada 1962.
Pada September hingga akhir 1945, pers nasional semakin kuat ditandai dengan penerbitan "Soeara Merdeka" di Bandung dan "Berita Indonesia" di Jakarta, serta beberapa surat kabar lain, seperti "Merdeka", "Independent", "Indonesian News Bulletin", "Warta Indonesia", dan "The Voice of Free Indonesia".
Dikutip dari laman Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), wartawan menyandang dua peran sekaligus, sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional dan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan.
Setelah Kemerdekaan Indonesia, wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik.
Kemudian terbentuklah organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai wadah perjuangan wartawan dan pers Indonesia, yang berdiri pada tanggal 9 Februari 1946.
Wartawan Indonesia terlibat dalam perjuangan nasional untuk menentang kembalinya kolonialisme dan dalam menggagalkan negara-negara boneka yang hendak meruntuhkan Republik Indonesia.
Munculnya SPS dan PWI
Wartawan dan tokoh pers nasional berkumpul di Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1946 untuk mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS).
Sebagai informasi, SPS lahir bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada tanggal 9 Februari 1946.
SPS berdiri untuk metata dan mengelola pers, baik dari segi idiil dan komersialnya.
Di balai pertemuan “Sono Suko” di Surakarta pada tanggal 9-10 Februari itu wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu.
Pertemuan besar yang pertama itu memutuskan:
a. Disetujui membentuk organisasi wartawan Indonesia dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), diketuai Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarjo Tjokrosisworo.
b. Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan:
- Sjamsuddin Sutan Makmur (harian Rakjat, Jakarta),
- B.M. Diah (Merdeka, Jakarta),
- Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta),
- Ronggodanukusumo (Suara Rakjat, Modjokerto),
- Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya),
- Bambang Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang),
- Sudjono (Berdjuang, Malang), dan
- Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakjat,Yogyakarta).
Delapan orang tersebut dibantu oleh Mr. Sumanang dan Sudarjo Tjokrosisworo.
Mereka bertugas merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan mengkoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional di mana ratusan jumlah penerbitan harian dan majalah.
Tujuan mereka adalah menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan nyala revolusi, dengan mengobori semangat perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional, untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat.
Komisi 10 orang tersebut dinamakan juga “Panitia Usaha” yang dibentuk oleh Kongres PWI di Surakarta tanggal 9-10 Februari 1946.
Baca juga: Hari Pers Nasional 2022, CEO Tribun Network Sampaikan Pentingnya Jurnalis Mengabdi kepada Publik
Perkembangan Pers Indonesia
Sekitar tiga minggu kemudian, Panitia Usaha bertemu lagi di Surakarta untuk menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia Pusat yang berlangsung dari 28 Februari hingga Maret 1946.
Pertemuan tersebut membahas perlunya wadah pengusaha surat kabar, lalu berdirilah Serikat Perusahaan Suratkabar.
Untuk mengatasi kesulitan di bidang percetakan, lahirlah Serikat Grafika Pers (SGP) pada era 1960.
Pada 1965-1968, pers Indonesia mengalami kemerosotan karena peralatan cetak di dalam negeri tidak memadai.
Mesin-mesin dan peralatan cetak letter-press yang sudah tua, matrys dengan huruf-huruf yang campur-aduk, teknik klise ternyata tidak lagi mampu menghasilkan gambar yang baik.
Keadaan itu lalu mendorong para wartawan untuk meminta pemerintah ikut mengatasi kesulitan tersebut.
SPS dan PWI mendukung para wartawan melayangkan nota permohonan pada Presiden Soeharto pada Januari 1968.
Isi permohonan tersebut adalah agar pemerintah turut membantu memperbaiki keadaan pers nasional, terutama dalam mengatasi pengadaan peralatan cetak dan bahan baku pers.
Setelah mengatasi kesulitan percetakan, muncullah berbagai organisasi pers yang mempermudah pengadaan, penyaluran informasi, dan pengelolaan media pers.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Artikel lain terkait Hari Pers Nasional