Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jika Terwujud, Rafale dan F-15 Bakal Jadi Kekuatan Mematikan Indonesia Hadapi Ancaman dari Utara

Meski tidak secara eksplisit menyebutkan China, tapi Pemerintah AS secara berkelanjutan telah berusaha meminta Indonesia meningkatkan kekuatannya.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Jika Terwujud, Rafale dan F-15 Bakal Jadi Kekuatan Mematikan Indonesia Hadapi Ancaman dari Utara
Roslyn WARD/US AIR FORCE/AFP
Sejumlah pesawat F-15 saat berpatroli di udara. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintahan Joe Biden menyetujui penjualan persenjataan militer ke Indonesia senilai $13,9 miliar (Rp200 triliun lebih), Kamis (10/2/2022), di tengah upaya Amerika Serikat membendung pengaruh China di kawasan Indo-Pasifik.

Izin penjualan alutsista tersebut meliputi 36 jet tempur canggih F-15 beserta komponen pendukungnya, seperti radar dan amunisi.

Persetujuan ini merupakan tindak-lanjut dari kunjungan Menlu Blinken pada pertengahan Desember ke Jakarta.

Saat itu, dia memuji hubungan dekat AS-Indonesia meskipun dibayang-bayangi oleh berbagai masalah hak asasi manusia yang sebelumnya menjadi alasan penundaan penjualan senjata ke negara tersebut.

"Penjualan persenjataan ini akan mendukung tercapainya tujuan kebijakan luar negeri dan tujuan keamanan nasional Amerika Serikat," kata Deplu AS dalam sebuah pernyataan.

Baca juga: Pengamat Militer: Pembelian Pesawat Tempur Rafale dan Kapal Selam Scorpene Tepat

"Sangat penting bagi kepentingan nasional AS untuk membantu Indonesia mengembangkan dan mempertahankan kemampuan pertahanan yang kuat dan efektif," tambahnya.

Pernyataan itu tidak secara eksplisit menyebutkan China, tapi Pemerintah AS secara berkelanjutan telah berusaha meminta Indonesia, negara demokrasi berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, untuk meningkatkan pengaruhnya di Laut China Selatan dan di tempat lainnya di Pasifik.

Baca juga: Pengamat Ungkap Dampak Buruk Jika Pembelian Jet Tempur Rafale Tidak Terealisasi

BERITA TERKAIT

Indonesia menjadi markas besar ASEAN, yang beberapa negara anggotanya sedang kesulitan untuk menangani pergerakan China ke wilayah sengketa di Laut China Selatan, yang merupakan jalur pelayaran internasional utama.

Berikut paket pembelian yang diizinkan AS, meliputi:

36 unit pesawat F-15ID;

87 mesin F110-GE-129 atau F100-PW-229 (72 terpasang, 15 suku cadang);

45 AN/APG-82(v)1 Advanced Electronically Scaned Array AESA Radar (36 terpasang, 9 suku cadang);

45 AN/ALQ-250 Eagle Passive Active Warning Survivability Systems EPAWSS (36 terpasang, 9 suku cadang);

48 komputer digital Advanced Display Core Processor ADCP II (36 terpasang, 12 suku cadang);

80 Joint Helmet Mounted Cueing Systems JHMCS (72 terpasang, 8 suku cadang);

92 perangkat keamanan Sistem Pemosisian Global (GPS)/Sistem Navigasi Inersia (EGI);

40 pod navigasi AN/AAQ-13 LANTIRN (36 terpasang, 4 suku cadang);

40 AN/AAQ-33 Sniper Advanced Targeting Pod (ATP) (36 terpasang, 4 suku cadang);

156 peluncur LAU-128 (144 terpasang, 12 suku cadang); dan

40 sistem senjata M61A “Vulcan” (36 terpasang, 4 suku cadang)

Bakal duet dengan Rafale?

Menariknya, pengumuman "lampu hijau" AS untuk pembelian F-15 ini dilakukan bersamaan dengan penandatanganan kontrak jet tempur Rafale antara Perancis dengan Indonesia.

Seperti diberitakan, Indonesia resmi mengakuisisi enam jet tempur Rafale produksi Dassault Aviation asal Perancis.

Akuisisi itu terjadi setelah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melakukan tandatangan pembelian enam jet tempur itu dengan Menteri Perancis Florence Parly di Jakarta, Kamis (10/2).

"Kita mulai hari ini dengan tanda tangan kontrak pertama untuk 6 pesawat," kata Prabowo dalam rekaman suara yang awak media terima, Kamis (10/2/2022) siang.

Secara keseluruhan, Indonesia berencana memboyong 42 jet tempur Rafale.

Menurut Prabowo, 36 unit Rafale sisanya akan segera menyusul dalam waktu dekat.

Selain jet tempur, Indonesia juga akan membeli dua kapal selam kelas Scorpene dari Prancis.

Rencana pembelian ini masuk dalam kerja sama di bidang research and development tentang kapal selam yang telah ditandatangani antara pihak PT PAL Indonesia dan NAVAL Grup dari Perancis di Jakarta, Kamis (10/2/2022).

Pesawat tempur Rafale buatan Dassault.
Pesawat tempur Rafale buatan Dassault. (AFP)

"Hari ini kita telah tandatangani MoU kerja sama di bidang research and development tentang kapal selam antara PT PAL dengan NAVAL grup dari Perancis yang tentunya akan mengarah pada pembelian dua kapal selam Scorpene," kata Prabowo, Kamis.

Baca juga: TNI AU Akan Akuisisi Pesawat Tempur Dassault Rafale, Drone, Hingga Radar GCI3 Mulai Tahun Ini

Prabowo menjelaskan, rencana pembelian itu sudah termasuk Air-independent Propulsion (AIP) beserta persenjataan dan suku cadang yang dibutuhkan termasuk latihan.

Selain itu, Kementerian Pertahanan dan Dassault Aviation juga telah menandatangani kontrak akuisisi enam jet Dassault Rafale.

Keenam unit ini merupakan tahap pertama dari total 42 jet yang rencananya akan dibeli Indonesia. Prabowo menyebutkan, 36 unit lainnya akan segera menyusul dalam waktu dekat.

Selanjutnya, Dassault Avation dan PT Dirgantara Indonesia (Persero) juga menjalin kerja sama untuk maintenance, repair dan overhaul pesawat-pesawat Perancis di Indonesia.

Kemudian ada juga penandatanganan kerja sama di bidang telekomunikasi antara PT LEN dan Thales Group serta kerja sama pembuatan munisi kaliber besar antara PT Pindad dan Nexter Munition.

Dengan adanya sederet kerja sama itu, Prabowo menyatakan bahwa Indonesia dan Perancis memasuki periode "status tertinggi" terkait kerja sama di bidang pertahanan yang telah terjalin sejak 1950.

"Saat ini status hubungan bilateral kita di bidang pertahanan berada dalam status tertinggi yaitu kita telah menandatangani perjanjian kerja sama pertahanan pada tanggal 27 Juni 2021," imbuh dia.

Tercatat, sejumlah negara telah menggunakan jet tempur Rafale di antaranya Perancis, Mesir, Qatar, dan India.

Pesawat tempur buatan Dassault Aviation ini mampu melakukan serangan darat dan laut, pengintaian, serangan akurasi tinggi, serta pencegahan serangan nuklir.

Jika pembelian Rafale dan F-15 terwujud, kekuatan TNI AU akan melonjak drastis.

Meski pun kalah secara kuantitas dengan China, Rafale dan F-15 dinilai banyak pengamat secara kualitas masih di atas rata-rata pesawat tempur Negeri Tirai Bambu tersebut, termasuk J-20 Dragon, yang digadang Beijing setara dengan F-22 Raptor Amerika.

Pengamat: Rugi jika batal!

Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi berpendapat Indonesia akan rugi jika rencana pembelian 42 pesawat tempur Dassault Rafale dan kapal selam Scorpene dari Perancis batal.

Fahmi memandang yang terpenting dari pembelian tersebut adalah potensi peningkatan kapabilitas pertahanan Indonesia, bukan konteks geopolitiknya.

Jika terealisasi, kata dia, maka postur pertahanan Indonesia akan lebih baik.

Postur pertahanan yang kuat, lanjut dia, tentu saja akan berdampak pada upaya pengamanan kepentingan nasional dan meningkatkan pengaruh Indonesia juga secara geopolitik.

"Jika tidak terealisasi ya tentu saja kita juga mengalami kerugian yang tak sedikit, baik dari aspek kapabilitas maupun geopolitik, yang ditandai lemahnya kemampuan kita dalam mengamankan teritorial dan kepentingan nasional maupun posisi tawar kita dalam menghadapi dinamika lingkungan strategis," kata Fahmi ketika dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (11/2/2022).

Fahmi berpendapat desakan untuk mengevaluasi dan memodernisasi alutsista milik TNI kencang disuarakan.

Meski Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan telah mengutarakan komitmennya untuk terus memodernisasi alutsista.

Namun, kata dia, hal itu tidak mudah dilakukan di tengah keterbatasan anggaran dan kondisi pandemi yang tak kunjung reda.

Ia mengatakan, dibutuhkan ruang fiskal yang memadai untuk menjawab harapan masyarakat agar TNI dapat segera menggunakan alutsista muda, berteknologi terkini, dan mumpuni.

Fahmi menilai Indonesia menghadapi tantangan dan ancaman yang tidak kecil baik dari dalam maupun dari luar negeri terhadap kedaulatannya.

Baca juga: Pengamat Ungkap Dampak Buruk Jika Pembelian Jet Tempur Rafale Tidak Terealisasi

Data SIPRI mencatat, lanjut dia, lima negara terbesar yakni Amerika Serikat, Tiongkok, India, Rusia dan Inggris terus meningkatkan belanja pertahanannya.

Mereka, kata Fahmi, mewakili sekitar 62 persen anggaran belanja militer global.

Tiongkok, lanjut dia, bahkan terus mencatat kenaikan signifikan sepanjang 26 tahun terakhir.

"Bila tidak memiliki pertahanan yang kuat, Indonesia tidak memiliki posisi tawar dalam menghadapi dinamika lingkungan strategis," kata Fahmi.

Karena itu, menurutnya sebenarnya cukup sulit dan dilematis juga bagi pemerintah untuk menyikapinya.

Dengan demikian menurutnya urgensi antara pembangunan kesejahteraan di satu sisi, dan upaya menjaga kemampuan pertahanan untuk menangkal gangguan dan ancaman terhadap kedaulatan negara di sisi lain tidak bisa lagi terus dibenturkan.

"Perang, bagaimanapun harus selalu diposisikan mungkin hadir dan terjadi. Karena itu, pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan merupakan salah satu cara untuk memperkecil ancaman terjadinya perang," kata Fahmi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas